Senin, 13 Juni 2011
Dua nama, satu kehilangan. Saya makin sering ketemu orang-orang yang menyebut nama ”Sukarno” atau ”Soeharto” seraya meletakkan kedua presiden itu dalam satu masa yang dirasakan hilang. Para perindu ini orang-orang yang berbeda, tentu. Tapi sebenarnya mereka sejajar: dalam kemurungan mereka, sejarah adalah nostalgia.
Sejarah sebagai nostalgia adalah gejala kesadaran modern. Para perindu tak hidup seperti orang-orang di sebuah masyarakat di mana tradisi punya peran yang sentral. Di alam pikiran masyarakat tradisional, masa lalu tak pernah absen. Ia hadir di mana-mana. Ia tak perlu dirindukan kembali.
Tapi Indonesia sejak awal abad ke-20 adalah Indonesia yang dibentuk oleh pembicaraan tentang sejarah sebagai rupture, ”patahan”, bukan kesinambungan. Sejak awal abad ke-20, ada kecenderungan menampilkan ”baru”—yang patah arang dengan yang ”lama”—seakan-akan sebuah bagian dari drama perbenturan.
Dalam pergerakan pemuda tahun 1910-an, misalnya. ”Jong Java”, ”Jong Sumatranen Bond”, ”Jong Ambon”, dan lain-lain menunjukkan yang ”muda” sebagai sebuah energi tersendiri: yang ”muda” dianggap harus menggantikan yang ”tua”. Energi itu berlanjut sampai ke tahun 1920-an: di masyarakat politik dicetuskan ”Sumpah Pemuda”; di dunia bacaan, novel seperti Siti Noerbaja jadi terkenal sebagai penampikan terhadap ”adat” (yang ”kuno”). Di tahun 1930-an, dengan sebuah majalah beroplah kecil tapi bersuara lantang, S. Takdir Alisjahbana memaklumkan lahirnya ”pujangga baru”, dengan kesadaran tentang ”Indonesia” yang bukan zaman ”jahiliyah” sebelumnya.
Sejak itu sejarah (setidaknya sejarah intelektual) dilihat sebagai sebuah cerita pergantian ”angkatan”. Ada ”Angkatan ’45” yang menolak angkatan sebelumnya. Dua dasawarsa kemudian diumumkan datangnya ”Angkatan ’66”. Seakan-akan yang terjadi adalah satu progresi, dengan tenaga yang dengan militan membedakan diri, bahkan meruntuhkan, tenaga lama.
Sejarah politik juga seakan-akan terkait dengan itu. Malah mungkin menandai ”patahan” yang lebih tegas. Periode 1945-1958, masa ”demokrasi parlementer”, ditinggalkan secara radikal oleh periode 1958-1966, masa ”demokrasi terpimpin”. Pada gilirannya itu pun dicampakkan oleh periode 1966-1998, masa ”Orde Baru”. Sejak 1998, ada patahan baru: masa Reformasi sampai hari ini.
Tiap patahan separuhnya adalah ilusi. Tak ada satu generasi yang bisa mengubah sejarah seperti yang dirancangnya, dan masa kini tak pernah jadi baru sama sekali. Generasi sebelumnya selalu punya sisa yang menghuni hidup generasi sekarang (seperti ”mimpi buruk”, kata Marx), meskipun tak diakui. Revolusi Prancis di abad ke-18, yang merupakan cikal-bakal pandangan sejarah sebagai rupture, yang hendak melangkah dari tahun nol, tetap menampung ambisi kontrarevolusi yang mengendap. Dari endapan inilah Napoleon Bonaparte, seorang opsir Revolusi, menegakkan takhta di akhir 1804, hanya lima tahun setelah Revolusi berakhir.
Dalam pada itu, imajinasi tentang sejarah sebagai ”patahan” berangsur-angsur mengubah posisi masa silam. Masa yang dipisahkan itu makin terasa jauh, bak sebuah benua lain yang asing dan misterius—yang justru menyebabkan orang pergi menjangkau. Yang asing, kata Fernando Pessoa, ”punya parfumnya sendiri”.
Untuk menjangkau benua waktu yang hilang itu kita pun mengingat—tapi dengan kenangan yang sayu. Nostalgia mengandung melankoli, tapi juga mengandung penghiburan. ”Parfum” masa silam itu membuat para perindu berbahagia.
Mungkin itu sebabnya dalam nostalgia masa lalu mendapat posisi normatif: masa kini, kata para perindu, seharusnya seperti masa lalu. ”Seharusnya” adalah kata yang mengacu ke depan. Maka tak jarang nostalgia juga jadi bagian gerakan untuk perubahan radikal. Cita-cita ”negara Islam”, yang dikemukakan sebagai pengganti jenis negara yang ada sekarang, adalah buah imajinasi tentang masa lalu yang memikat. Semangat konservatif dan hasrat progresif tak jarang tumpang-tindih.
Terutama masa kini, ketika hidup membuat nostalgia bertaut dengan rasa waswas, ketika hidup berlangsung di tengah kesimpangsiuran dan kemajemukan yang tak tepermanai. Ini bukan cerita baru: ketika orang gila dalam cerita Nietzsche mengabarkan bahwa Tuhan mati, langit digambarkan buyar dan cuaca kian kelam.
Maka Tuhan tak boleh mati: bayang-bayang-Nya akan terus diperlihatkan beribu-ribu tahun setelah kabar kematian-Nya. Bagi banyak orang, Tuhan hidup bersama kebutuhan mereka untuk menegakkan tata.
Di saat itulah nostalgia memberi bentuk. Ia hasil seleksi dari carut-marut ingatan. Zaman tidak lagi diingat sebagai sebuah masa di atas bumi yang kacau di bawah langit yang buyar. ”Masa Sukarno” dan ”masa Soeharto” masing-masing berolah identitas yang terpisah dan tak punya kontradiksi dalam dirinya. Dengan itu, terbangun sebuah patokan, satu pusat—meskipun hanya imajiner—pemberi norma dan sanksi.
Yang jadi pertanyaan: adakah dunia imajiner yang dibentuk para perindu membebaskan kita. Bagi saya, emansipasi justru dimulai ketika kita tak disandera satu gambaran tentang masyarakat yang terpaut pada kesatuan memori.
Memori tak pernah punya kesatuan. Sebuah zaman, juga sebuah masyarakat, ibarat kaleidoskop: sebuah tube dari cermin dan kaca yang beraneka ragam, yang kita lihat dari satu lubang, dan pola pantulannya pun berubah-ubah seraya kita mengubah pegangan kita pada tube itu. Ada yang kelihatan, ada yang tidak. Tak sepenuhnya terang, selalu ada kegelapan. Sebuah zaman, juga sebuah masyarakat, bisa punya satu sosok, satu identitas, tapi selamanya dalam ambiguitas.
Dan para perindu akan selamanya terkenang sayu.
Goenawan Mohamad
www.tempointeraktif.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar