Rabu, 13 Oktober 2010

Perihal Orang Miskin yang Bahagia --- Agus Noor



---1

"AKU sudah resmi jadi orang miskin," katanya, sambil memperlihatkan Kartu Tanda Miskin, yang baru diperolehnya dari Kelurahan. "Lega rasanya karena setelah beratahun-tahun hidup miskin akhirnya mendapat pengakuan juga."

Kartu Tanda Miskin itu masih bersih, licin dan mengkilat karena dilaminating. Dengan perasaan bahagia, ia menyimpan kartu itu di dompetnya yang lecek dan kosong.

"Nanti, bila aku kepingin berbelanja, aku tinggal menggeseknya."

---2

DIAM-DIAM aku suka mengintip rumah petak orang miskin itu. Ia sering duduk melamun, sementara anak-anaknya yang dekil bermain riang menahan lapar. "Kelak, mereka pasti akan menjadi orang miskin yang baik dan sukses," gumamnya.

Suatu sore, aku melihat orang miskin itu menikmati teh pahit beserta istrinya. Kudengar orang miskin itu berkata mesra,"Ceritakan kisah paling lucu dalam hidup kita..."

"Ialah ketika aku dan anak-anak begitu kelaparan, lalu menyembelihmu," jawab istrinya.

Mereka pun tertawa.

Aku selalu iri menyaksikan kebahagiaan mereka.

---3

ORANG miskin itu dikenal ulet. Ia mau bekerja serabutan apa saja. Jadi tukang becak, kuli angkut, buruh bangunan, pemulung, atau tukang parkir. Pendeknya, siang malam ia membanting tulang, tetapi alhamdulillah tetap miskin juga. "Barangkali aku memang run-temurun dikutuk jadi orang miskin," ujarnya, tiap kali ingat ayahnya yang miskin, kakeknya juga miskin, juga simbah buyutnya juga yang miskin.

Ia pernah mendatangi dukun berharap bisa mengubah garis buruk tangannya. "Kamu memang mempunyai bakat jadi orang miskin," kata dukun itu. "Mestinya kamu bersukur karena tidak setiap orang punya bakat miskin seperti kamu."

Kudengar, sejak itulah, orang miskin itu berusaha konsisten miskin.

---4

PERNAH, dengan malu-malu, ia berbisik kepadaku. "Kadang bosan juga jadi orang miskin. Aku pernah berniat memelihara tuyul atau babi ngepet. Aku juga pernah hendak jadi pelawak agar sukses dan kaya," katanya. "Kamu tahu kan, tak perlu lucu jadi pelawak. Cukup bermodal tampang bego dan mau dihina-hina.”

“Lalu kenapa kau tak jadi pelawak saja?”

Ia mendadak terihat sedih, lalu bercerita. “Aku kenal orang miskin yang jadi pelawak. Bertahun-tahun ia jadi pelawak, tetapi tidak pernah ada yang tersenyum menyaksikannya di panggung. Baru ketika ia mati, semua orang tertawa.”

---5

ORANG miskin itu pernah kerja jadi badut. Kostumnya rombeng dan menyedihkan. Setiap menghibur di acara ualang tahun, anak-anak yang menyaksikan atraksinya selalu menangis ketakutan.

“Barangkali kemiskinan memang bukan hiburan yang menyenangkan buat anak-anak,” ujarnya membela diri ketika akhirnya ia dipecat jadi badut.

Kadang-kadang, ketika merasa sedih dan lapar, orang miskin itu suka menghibur diri di depan kaca dengan gerakan-gerakan badut paling lucu yang tak pernah bisa membuatnya tertawa.

---6

ORANG miskin itu akrab sekali dengan lapar. Setiap kali lapar berkunjung, orang miskin itu selalu mengajaknya berkelakar untuk sekedar melupakan penderitaan. Atau, sering kali, orang miskin itu mengajak lapar bermain teka-teki untuk menghibur diri. Ada satu teka-teki yang selalu diulang-ulang setiap kali lapar bertandang.

“Hiburan apa yang paling menyenangkan ketika lapar?” Dan orang miskin itu akan menjawabnya sendiri, “Musik keroncongan.”

Dan lapar akan terpingkal-pingkal sambil menggelitiki perutnya.

---7

YANG menyenangkan, orang miskin itu memang suka melucu. Ia kerap menceritakan kisah orang miskin yang sukses kepadaku. “ Aku punya kolega orang miskin yang aku kagumi,” katanya. “Dia merintis karir jadi pengemis, untuk membesarkan empat anaknya. Sekarang satu anaknya di ITB, satu di UI, satu di UGM, dan satunya lagi di UNDIP.”

“Wah hebat banget!” ujarku. ‘Semuanya kuliah, ya?”

“Tidak. Semuanya jadi pengemis di kampus itu.”

---8

ORANG miskin itu sendiri punya tiga anak yang masih kecil-kecil. Paling tua berumur 8 tahun, dan bungsunya belum genap 6 tahun. “Aku ingin mereka juga menjadi orang miskin yang baik dan benar sesuai undang-undang. Setidaknya bisa mengamalkan kemiskinan mereka secara adil dan beradap berdasarkan Pancasila dan UUD 45,” begitu ia sering berkata, yang kedengaran seperti bercanda. “Itulah sebabnya aku tak ingin mereka jadi pengemis?”

Tapi sering kali kuperhatikan ia begitu bahagia ketika anak-anaknya memberinya recehan. Hasil dari mengemis.

---9

PERNAH suatu malam, kami nongkrong di warung pinggir kali. Bila sedang punya uang hasil anak-anaknya mengemis, ia memang suka memanjakan diri menikmati kopi. “Orang miskin perlu juga sesekali menyantai, kan? Lagi pula, beginilah nikmatnya jadi orang miskin. Punya banyak waktu buat leha-leha. Makanya, sekali-kali, cobalah jadi orang miskin,” ujarnya, sambil menepuk-nepuk pundakku. “Kalau kamu miskin, kamu akan punya cukup tabungan penderitaan, yang bisa digunakan untuk membiayaimu sepanjang hidup. Kamu bakalan punya cadangan kesedihan yang melimpah. Jadi kamu nggak kaget kalau susah.” Kemudian, pelan-pelan ia menyeruput kopinya penuh kenikmatan.

Saat-saat seperti itulah, diam-diam, aku suka mengamati wajahnya.


---10

WAJAH orang miskin itu mengingatkanku pada wajah yang sering muncul setiap kali aku berkaca. Dalam cermin itu ia kadang menggodaku dengan gaya badut paling lucu yang tak pernah membuatku tertawa. Bahkan, setiap kali ia meniru gerakanku, aku selalu pura-pura tak melihatnya.

Pernah suatu malam, aku melihat bayangan orang miskin itu keluar dari dalam cermin, berjalan mondar-mandir, batuk-batuk kecil minta diperhatikan. Ketika aku terus diam saja, kulihat ia kembali masuk dengan wajah kecewa.

Sejak itu, bila aku berkaca, aku kerap melihatnya tengah berusaha menyembunyikan isak tangisnya.

---11

ADA saat di mana kuperhatikan wajah orang miskin itu diliputi kesedihan. "Jangan salah paham," katanya aku sedih bukan karena aku miskin. Aku sedih karena banyak sekali orang yang malu mengakui miskin. Banyak sekali orang yang bertambah miskin karena selalu berusaha agar tidak tampak miskin."

Entah kenapa, saat itu mendadak aku merasa kikuk dengan penampilanku yang perlente. Sejak itu pula aku jadi tak terlalu suka berkaca.

---12

BILA lagi sedih, orang miskin itu suka datang ke pengajian. "Tuhan memang bisa menjadi hiburan menyenangkan buat orang yang lagi kesusahan," katanya. Ia akan terkantuk-kantuk sepajang ceramah, tetapi langsung semangat begitu makanan dibagikan.

---13

ADA lagi satu cerita, yang suka diulangnya kepadaku.

Suatu malam, ada seorang pencuri menyatroni rumah orang miskin. Mengetahui hal itu, si orang miskin segera sembunyi. Tapi, pencuri itu memergoki dan membentaknya,"Kenapa kamu sembunyi?" Dengan ketakutan si orang miskin menjawab," Aku malu karena aku tak punya apa pun yang bisa kamu curi."

Ia mendengar kisah itu dalam sebuah pengajian. "Kisah itu selalu membuatku punya alasan untuk bahagia jadi orang miskin," begitu ia selalu mengakhiri cerita.

---14

ORANG miskin itu pernah ditangkap polisi. Saat itu, di kampung memang terjadi beberapa kali pencurian, dan sudah sepatutnyalah orang miskin itu dicurigai. Ia di interogasi dan di gebuki. Dua hari kemudian baru dibebaskan. Kabarnya ia di beri uang agar tidak menuntut. Berminggu-minggu wajahnya bonyok dan memar. "Beginilah enaknya jadi orang miskin," katanya. "Dituduh mencuri, dipukuli dan dikasih duit!"

Sejak itu, setiap kali ada yang kecurian, orang miskin itu selalu mengakui bahwa ia pelakunya. Dengan harapan, ia kembali dipukuli.

---15

BANYAK orang berkerumun sore itu. "Ada yang mati," kata seseorang. Kukira orang miskin itu tewas dipukuli. Ternyata bukan. "Itu perempuan yang kemarin baru melahirkan. Anaknya sudah selusin, suaminya minggat, dan ia merasa repot kalau menghidupi satu jabang bayi lagi. Makanya ia memilih membakar diri."

Perempuan itu ditemukan mati gosong sambil mendekap bayi yang disusuinya. Orang-orang yang mengangkat mayatnya bersumpah kalau air susu perempuan itu masih menetes-netes dari putingnya.

---16

SEPERTINYA ini memang lagi musim orang miskin bunuh diri. Dua hari lalu, ada seorang ibu sengaja menabrakkan diri ke kereta api sambil menggendong dua anaknya. Ada lagi sekeluarga orang miskin yang kompak menegak racun. Ada juga suami-istri gantung diri karena bosan dililit utang.

"Tak gampang memang jadi orang miskin," ujar orang miskin itu. "Hanya orang miskin gadungan yang mau mati bunuh diri. Untunglah, sekarang saya sudah resmi jadi orang miskin," sembari menepuk-nepuk dompet di pantat teposnya, tempat Kartu Tanda Miskin itu dirawatnya. "Itu bukti kalau aku orang miskin sejati."

---17

ORANG miskin punya ponsel itu biasa. Hanya orang-orang miskin yang ketinggalan zaman saja yang tak mau berponsel. Tapi, aku tetap saja kaget ketika orang miskin itu muncul ke rumahku sambil menenteng telepon genggam.

 “Orang yang sudah resmi miskin seperti aku, boleh dong bergaya!” katanya dengan gagah. Lalu, ia sibuk memencet-mencet ponselnya, menelepon kesana kemari dengan suara yang sengaja dikeras-keraskan, “Ya, halo, apa kabar? Bagaimana bisnis kita? Halooo…”

Padahal ponsel itu tak ada pulsanya.

---18

IA juga punya kartu nama sekarang. Di kartu nama itu bertengger dengan gagah namanya, tempat tinggal dan jabatannya, Orang Miskin.

---19

IA memang jadi kelihatan keren sebagai orang miskin. Ia suka keliling kampung, menenteng ponsel sambil bersiul entah lagu apa. “Sekarang anak-anakku tak perlu lagi repot-repot mengemis dengan tampang dimelas-melaskan,” katanya. “Buat apa? Toh sekarang kami sudah nyaman jadi orang miskin. Tak sembarang orang bisa punya Kartu Tanda Miskin seperti ini.”

Ia mengajakku merayakan peresmian kemiskinannya. Dibawanya aku ke warung yang biasa diutanginya. Semangkok soto, ayam goreng, sambal terasi, dan nasi—yang tambah sampai tiga kali—disantapnya dengan lahap. Sementara, aku hanya memandanginya.

“Terima kasih telah mau merayakan kemiskinanku,” katanya. “Karena aku telah benar-benar resmi jadi orang miskin, sudah sepantasnya kalau kamu yang membayar semuanya.”

Sambil bersiul ia pergi.

---20

KETIKA tubuhnya digerogoti penyakit, dengan enteng orang miskin itu melenggang ke rumah sakit. Ia menyerahkan Kartu Tanda Miskin kepada suster jaga. Karena banyak bangsal kosong, suster itu menyuruhnya menunggu di lorong. “Beginilah enaknya jadi orang miskin, “ batinnya, “ dapat fasilitas gratis tidur di lantai.” Dan orang miskin itu dibiarkan menunggu berhari-hari.

Setelah tanpa pernah diperiksa dokter, ia disuruh pulang. “Anda sudah sembuh,” kata perawat, lalu memberikannya obat murahan.

Orang miskin itu pulang dengan riang. Kini, ia tak akan pernah lagi takut pada sakit. Saat anak-anaknya tak pernah sakit, ia jadi kecewa. “Apa gunanya kita punya Kartu Tanda Miskin, kalau kamu tak pernah sakit? Tak baik orang miskin selalu sehat.”

Mendengar itu, mata istrinya berkaca-kaca.



---21

BERUNTUNG sekali orang miskin itu punya istri yang tabah, kata orang-orang. Kalau tidak, perempuan itu pasti sudah lama bunuh diri. Atau memilih jadi pelacur ketimbang terus hidup dengan orang miskin seperti itu.

Tidak ada yang tahu, diam-diam perempuan itu sering menyelinap masuk ke rumahku. Sekedar untuk uang lima ribu.

---22

SUATU sore yang cerah, aku melihat orang miskin itu mengajak anak-istrinya pergi berbelanja ke mal. Benar-benar keluarga yang sakinah, batinku. Ia memborong apa saja sebanyak-banyaknya. Anak-anaknya terlihat begitu gembira.

“Akhirnya kita juga bisa seperti mereka,” bisik orang miskin itu kepada istrinya sambil menunjuk orang-orang yang sedang antre membayar dengan kartu kredit. Di kasir, orang miskin itu pun segera mengeluarkan Kartu Tanda Miskin miliknya, “Ini kartu kredit saya.”
Tentu saja petugas keamanan langsung mengusirnya.

---23

IA tenang anak-anaknya tak bisa sekolah. “Buat apa mereka sekolah? Entar malah jadi kaya,” katanya. “Kalau mereka tetap miskin, malah banyak gunanya, kan? Biar ada yang terus berdesak-desakan dan saling injak setiap kali ada pembagian beras dan sumbangan. Biar ada yang terus bisa ditipu setiap menjelang pemilu. Kau tahu, itulah sebabnya, kenapa di negeri ini orang miskin terus dikembangbiakkan dan dibudidayakan.”

---24

TAKDIR selalu punya cara yang tak terduga agar selalu tampak mengejutkan. Tanpa firasat apa-apa, orang miskin itu mendadak mati. Anak-anaknya hanya bengong memandangi mayatnya yang terbujur menyedihkan di ranjang. Sementara istrinya terus menangis, bukan karena sedih, tetapi karena bingung mesti beli kain kafan, nisan sampai harus membayar lunas kuburan.

Seharian perempuan itu pontang-panting cari uatangan, tetapi tetap saja uang tak cukup buat biaya pemakaman. “Bagaimana, mau dikubur tidak?” Para pelayat yang sudah menunggu mulai menggerutu.

Karena hanya bikin susah dan merepotkan, orang miskin itu pun memutuskan untuk hidup kembali.

---25

SEJAK peristiwa itu, kuperhatikan, ia jadi sering murung. Mungkin karena banyak orang yang kini selalu mengolok-oloknya.

“Dasar orang miskin keparat,” begitu sering orang-orang mencibir bila ia lewat, “mau mati saja pakai nipu.”

“Apa dikira kita nggak tahu, itu kan akal bulus biar dapat sumbangan.”

“Dasar dia emang suka menipu, kok! Ingat nggak, dulu sering keliling minta sumbangan, pura-pura buat bikin masjid. Padahal hasilnya ditilep sendiri.”

“Kalian tahu, kenapa dia tak jadi mati? Karena neraka pun tak sudi menerima orang miskin kayak dia!”

Orang-orang pun tertawa ngakak.

---26

NASIB buruk kadang memang kurang ajar. Suatu hari, orang miskin itu berubah jadi anjing. Itulah hari paling membahagiakan dalam hidupnya. Anak-istrinya yang kelaparan segera menyembelihnya.

Jakarta-Singapura, 2009.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar