Rabu, 02 Januari 2013

Herodes


Minggu, 30 Desember 2012


Banyak sekali yang dikatakan di hari Natal, tentang Natal, dan begitu banyak nasihat dan petuah yang aus. Maka kita harus berterima kasih kepada W.H. Auden. Atau kepada puisi.


Di tahun 1942, semasa Perang Dunia II yang menakutkan, Auden menulis sebuah sajak panjang, 1.500 baris, sebuah oratorio Natal, For the Time Being. Bukan sebuah khotbah. Tapi justru di dalamnya berpendar kembali apa yang religius yang sebelumnya tertimbun di bawah ajaran yang kering.


Bagi Auden, Natal bukan cuma ritual akhir Desember. Natal adalah pengingat bahwa di satu celah dari hidup yang banal, di antara laku yang sepele dan tak istimewa membayar tagihan, memperbaiki alat yang rusak, menghafal kata yang sulit ada saat yang menyadarkan kita bahwa mukjizat telah terjadi, yakni hidup itu sendiri. Di saat itu yang rutin menemukan pesonanya kembali.


Menebus kembali pesona yang hilang dari kata sehari-hari itulah ikhtiar puisi. Khotbah dan petuah tak berniat untuk itu. Bagi para imam, yang penting hanya yang abadi, yang berdosa, dan yang kelak di alam baka. Bagi mereka, detik dan jam juga hari dan bulan suci yang datang tiap tahun tak akan mengubah desain kehidupan.


Para pemimpin umat menjadikan hari suci sebagai hari konsolidasi: di depan mimbar, para penganut dikumpulkan kembali dan ditata. Untuk itu institusi harus punya pegangan yang ajek. Yang rutin dan klise penting. Ketika umat dikiaskan sebagai "gembala", mereka diharapkan untuk mengikut, menyatu stabil dalam penanda yang sama. Repetisi dibutuhkan buat menghindari chaos. Bahasa untuk "gembala" harus tak berubah-ubah mengejutkan.


Puisi justru hidup dengan merayakan yang mengejutkan dan tak tersangka-sangka. Ia perlawanan terhadap klise dan sebab itu ia anti-khotbah. Juga ketika berbicara tentang Tuhan dan kebajikan. Sang penyair, seperti Auden, tak menulis sebagai seorang penggembala yang menggiring ternak ke sebuah kandang yang aman.


Bagi Auden bahkan Tuhan bukan "jalan" yang lazim. Mengikuti-Nya akan sampai ke tempat yang tak terduga:


He is the Way.
Follow Him through the Land of Unlikeness;

You will see rare beasts, and have unique adventures.


Dalam sajak ini, jalan Tuhan memasuki wilayah yang terbangun dari hal-hal yang tak bermiripan, bukan itu-itu saja. Di sana kita akan bersua dengan "hewan-hewan yang tak lazim" dan masuk ke dalam "petualangan yang unik". Mengikuti jalan ini adalah mengikuti Tuhan yang membebaskan manusia dari ruang tertutupnya sendiri. Manusia dan semesta jadi "Engkau" (You), bukan cuma "itu" (it).


Tentu, kebebasan itu mencemaskan mereka yang menganjurkan umat bertahan, bersiap tertib di dalam wilayah yang sudah pasti.

Para penganjur itu bisa keras. Dalam sastra Jawa, personifikasinya adalah Sunan Kudus. Wali Islam di abad ke-16 inilah yang menghabisi nyawa Syekh Siti Jenar yang "Islam"-nya membingungkan. Ia juga yang disebut memimpin hukum bakar Malang Sumirang, seorang sufi yang nakal.


Dalam sastra Eropa, tokoh Penjaga Tertib itu Sang Inkuisitor Agung dalam novel Karamazov Bersaudara Dostoyevski. Dialah yang mengusut iman orang dan membakar orang itu hidup-hidup bila imannya dianggap palsu atau bengkok. Ia tak percaya cinta kasih, karena cinta kasih terlalu mempercayai manusia dan meletakkannya dalam kebebasan. Pejabat Gereja ini menyalahkan Yesus. Manusia, katanya, tak seperti yang Tuan harapkan: mereka "tak dapat bebas, karena mereka lemah, jahat, tak bermutu, dan pembangkang".


Dalam sajak Auden, kita bertemu dengan Herodes. Menurut Injil, raja ini berusaha mencegah kelahiran bayi Yesus dengan membunuh tiap anak yang berumur dua tahun ke bawah di Bethlehem dan sekitarnya. Dalam For the Time Being, ia tampak lain. Ia seseorang yang cemas akan hilangnya "Hukum Rasional". Tanpa hukum ini, ia takut, "Pengetahuan akan merosot ke dalam kacau-balaunya pandangan-pandangan subyektif."


Bagi Herodes, sang raja, itulah anarki. Anarki itu akan datang bersama suara yang menegaskan bahwa cinta kasih adalah dasar hidup antarsesama. Dengan itu akan terbangun hubungan horizontal yang lurus setara: sebuah dunia yang bukan saja tanpa Hukum Rasional, tapi juga tanpa struktur: "Aristokrasi Baru akan terdiri hanya atas para pertapa, gelandangan, dan orang cacat permanen."


Herodes memperingatkan kita, sebab ia tahu apa arti kekuasaan, apa fungsi struktur, hierarki, dan hegemoni. Ia akan menampik demokrasi, apalagi demokrasi yang radikal dalam multitudes.


Seperti Sang Inkuisitor Agung yang menyesali Yesus, Herodes tak mengakui cinta kasih sebagai esensi kehidupan bersama. Kehidupan justru antagonisme dan persaingan. Selalu ada yang kalah, ada yang takluk. Hubungan cinta kasih hanya membuat keadaan mandek: tanpa dialektik. Hubungan horizontal tanpa hierarki juga tak akan berkeadilan, cuma belas kasihan—sebab orang yang salah tak akan dihukum, karena tak ada aturan yang keras, karena tak ada takhta kehakiman. Justice will be replaced by Pity as the cardinal human virtue, and all fear of retribution will vanish.


Herodes: sungguh persuasif. Kita pun risau bila ternyata ia benar bahwa manusia harus punya doktrin, hierarki, dan struktur, selalu perlu khotbah, klise, konsolidasi ideologis, dan pengukuhan kekuatan. Jangan-jangan manusia selalu punya (dan perlu) musuh.


Tapi benarkah kata "harus" dan "selalu" itu? Kini abad ke-21; saya tak bisa melihat hidup dari atas dengan teropong sebuah ide dan menyimpulkan esensi hidup adalah cinta kasih atau sebaliknya, antagonisme. Hidup bergerak dalam jutaan "petualangan yang unik". Ia tak bisa jadi satu thesis. Di bumi ini sejarah adalah proses yang serba mungkin, berubah, berbeda. The Land of Unlikeness.


Goenawan Mohamad

Selasa, 16 Oktober 2012

Edan

Senin, 31 Oktober 2011



Sejarah bergerak dengan keluhan; tiap zaman punya gerutunya sendiri. Suasana muram ala Kalatidha yang digambarkan Ranggawarsita akan selalu dirasakan di suatu masa, di suatu tempat.


Para pembaca sastra Jawa kenal benar dengan karya berbentuk tembang sepanjang 12 pupuh itu. Setidaknya kalimat, "Amenangi jaman édan…." Dan tiap kali mereka ingat baris itu, mereka akan merasa bahwa yang mereka alami juga sebuah "zaman gila"….


Mungkin itu sebabnya Serat Kalatidha, dengan bahasa yang tak lazim bagi lidah sehari-hari itu, sering dianggap "ramalan". Ranggawarsita pun jadi makhluk dongeng. Hampir seabad yang lalu satu tim ditugasi menyusun biografinya. Hasilnya Babad Cariyos Lelampahanipun Suwargi Radèn Ngabèhi Ronggawarsita, yang terbit dalam tiga jilid di awal 1930-an. Di sana dikatakan bahwa cahaya dari langit masuk ke dalam diri pemuda bandel yang kemudian jadi penyair itu—sebab itu ia mampu menulis sastra yang canggih. Buah tangannya lahir dengan kekuatan spiritual yang tinggi; ia mampu melihat masa yang belum tiba.


Tapi sebenarnya sastra selalu mengandung anasir yang profetik. Sebuah karya hidup dan bergetar dalam sebuah paradoks. Ia lahir dari sebuah situasi kini-dan-di-sini, latar yang konkret, momen yang tak akan terulang. Tapi ia bergabung dengan para pembaca yang akan datang: orang-orang yang akan menemuinya dan menafsirkannya setelah ia beredar. Dalam hal itu, Kalatidha adalah sebuah monumen—seperti tiap puisi yang berarti. Sebuah monumen, kata Deleuze & Guattari, tak merayakan masa lalu, melainkan berbisik ke "telinga masa depan"—dan akan terdengar "penderitaan manusia yang dihidupkan lagi tak henti-hentinya, protesnya yang diperbaharui, perjuangannya yang dibangkitkan kembali".


Kalatidha ditulis sekitar tahun 1860—kurang-lebih seperempat abad setelah "Manifesto Komunis" dan sedasawarsa setelah novel David Copperfield Charles Dickens. Artinya ia diolah di sebuah masa ketika orang memandang dunia sebagai himpunan data, bukan wahyu. Marx & Engels merumuskan sesuatu dari pengalaman, bukan dari firman. Begitu pula realisme novel Dickens.


Juga Ranggawarsita: ia menulis dari pengamatannya tentang hidup sehari-hari, meskipun tak rinci dan di sana-sini tersekat dalam prosodi tembang sinom. Kalatidha menyebut sebuah keadaan sosial-politik di mana raja dan para pejabat tingginya bisa dipuji, tapi orang—terutama dirinya—hidup di tengah suasana curang, penuh intrik, fitnah, dan ucapan palsu (ujar lamis). Sebagian besar tembang panjang itu bersifat deskriptif.


Dari dalamnya kita bisa merasakan keluhan, amarah, sedikit humor pahit, dan introspeksi—yang menunjukkan betapa akrabnya Kalatidha dengan pengalaman pribadi penulisnya. Ranggawarsita, sang pujangga istana, memang menulis dengan luka dan trauma. Hidup di sebuah masa ketika Kerajaan Surakarta praktis habis, ia sendiri miskin. "Ronggawarsita’s own poverty is legendary," tulis Nancy K. Florida dalam "Reading the Unread in Traditional Javanese Literature".


Florida memaparkan satu telaah yang perseptif tentang pujangga ini—khususnya dalam hubungannya dengan Serat Jayèngbaya, yang digubah Ranggawarsita ketika berumur 28, yakni pada 1830. Itu berarti menjelang akhir Perang Diponegoro, perang lima tahun yang mengguncang Pulau Jawa dan selesai sebagai pembangkangan yang kalah. Diperkirakan 200 ribu orang di Jawa tewas; ketika itu penduduk hanya tiga juta. Bisa dibayangkan kerusakan ekonomi yang terjadi.


Para nayaka dan sentana di lingkungan Keraton Sura­karta pun harus hidup terengah-engah dan mengerahkan pelbagai akal cerdik. Raja mereka, Pakubuwana VI, yang diam-diam membantu gerilya Diponegoro, ditangkap. Belanda membuangnya ke Ambon. Dua tahun sebelumnya, pada 1828, ayah Ranggawarsita sendiri juga disingkirkan ke Batavia.

Suasana amat represif. Florida mengutip satu bagian Jayèngbaya tentang bagaimana mudahnya guru dan para murid ditindak bila mereka bertemu secara rahasia dan membicarakan hal yang "aneh-aneh". Tanpa peringatan, mereka akan "tinalikung, kinungkung kukum kunjara": ditelikung, dikungkung dalam penjara.


Saat itu "jaman édan" sudah mulai. Jayèngbaya saksinya: serangkai tembang dengan humor hitam, sinisme tajam, tapi terdengar seperti permainan nakal anak-anak.


Dengan gaya mengejek diri sendiri, Ranggawarsita mencemooh karier dan status yang umumnya dimimpikan orang di masa itu. Jadi guru, misalnya, mudah: dengan hanya mengucapkan "kalimah" (klimah) dan dengan "ilmu" yang tak lebih dari kata "asyhadu’alah". Status guru [agama] itu akhirnya tampak sepele dan oportunistis: bisa mengumpulkan uang banyak ("nglumpuk selawé pethak") tapi akan celaka jika mendapatkan murid yang pintar.


Begitu pula jadi tentara, hakim, dan lain-lain. Bahkan posisi sebagai Tuhan tak luput dari lelucon: status ini memang enak, berkuasa dan punya banyak pembantu, tapi berada di luar ruang dan waktu—dan ini praktis sama saja dengan tunawisma!


Dengan sekali pukul, dan dengan jenaka, yang suci dan yang rendah disamaratakan: guru, tentara, algojo, anjing, pedagang obat…. Tatanan dan klasifikasi dirobohkan.


Tampak, Ranggawarsita memisahkan diri dari sana. Ia menertawakannya—atau ia memilih menyendiri: mati sajroning ngaurip, kalis ing rèh huru hara. Justru dengan begitu ia berbisik ke "telinga masa depan": ke sebuah masyarakat lain, yang belum hadir tapi dihasratkan, di mana status dan klasifikasi hilang.


Gerutu dan ejekannya menandai jalan ke masa itu—meskipun tak selalu jelas seperti apa. Yang jelas, penderitaan manusia dirasakan kembali, protes diperbaharui, perjuangan dibangkitkan lagi.

Goenawan Mohamad