Lehernya mengeluarkan warna biru kelabu.
Ia coret lagi warna merah di dadanya, seperti stempel pos 50 tahun yang lalu.
Ia coret lagi warna merah di dadanya, seperti stempel pos 50 tahun yang lalu.
Besok kita akan ke gunung lagi besok, melihat kabut memindah-mindahkan kaki gunung.
Jiwa di puncaknya yang tetap ingin sendiri, yang ingin menggunakan suara-suara
serangga sebagai telinganya.
Yang ingin kunang-kunang memindahkan bintang-bintang di malam hari.
Yang ingin sapi terbang dari bukit-bukit ke bukit.
Dan aku memotretmu setelah merapi mengeluarkan kabut merah.
Lehernya mengeluarkan warna biru kelabu.
Ia tanam lagi udara dingin di dadanya, bau cengkeh dan tembakau dari mulut anjing.
Yang ingin kunang-kunang memindahkan bintang-bintang di malam hari.
Yang ingin sapi terbang dari bukit-bukit ke bukit.
Dan aku memotretmu setelah merapi mengeluarkan kabut merah.
Lehernya mengeluarkan warna biru kelabu.
Ia tanam lagi udara dingin di dadanya, bau cengkeh dan tembakau dari mulut anjing.
Besok kita akan menjadi kunang-kunang, menziarahi orang-orang gua dari mata air.
Melihat kabut perak turun seperti sihir dari kesunyian.
Yang mendengar air mata menyelimuti tempat tidurnya.
Yang mendengarkan bau gunung dari dongeng-dongeng tua.
Yang mendengar suara motor membelah bukit.
Yang mendengar air mata menyelimuti tempat tidurnya.
Yang mendengarkan bau gunung dari dongeng-dongeng tua.
Yang mendengar suara motor membelah bukit.
Yang mendengarkan bau bunga melati di telapak tangannya.
Dan aku memotretmu dari atas bukit ini ke bawah, ke bawah, ke
bawah, tempat kunang-kunang menanam bintang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar