Senin, 11 Oktober 2010

Mantel Hujan Dua Kota -- Afrizal Malna




Kota ini telah jadi Semarang sejak air laut ingin mendaki
bukit, dan pesta tahun baru di ruang dalam bangunan-
bangunan kolonial. Minum persahabatan dan melukis fotomu
pada dinding musim hujan. Sepanjang malam ia mengenakan
mantel dari listrik: kota yang mengapung 45 derajat di atas
sejarah. Dalam mantelnya rokok kretek dan kartu atm.
Mahasiswa bergerombol di warung kopi, mengambil ilmu
sastra, ilmu komunikasi, ilmu antropologi dan jam-jam belajar dari
pecahan kaca. Akulah anak muda yang bisa memainkan bas
elektrik, blues dengan sisa-sisa kerusuhan dan sisir yang
patah. Aku telah banjir di lapangan kerja dan kenaikan gaji
pegawai negeri. Para arsitek yang membuat desain kota
bersama air laut dan air hujan.

Biarlah aku sampai ke batas tepi ini, untuk jejak yang
membuat lobangnya sendiri.

Kereta keluar dari mulut stasiun Yogyakarta, bau tembakau
dari pesta seni rupa dan sapi goring. Aku kembali bernapas
setelah ribuan billboard kota adalah mataku yang terus
berputar, waktu yang terasa perih. Rel kereta masih
menyimpan saham-saham VOC sampai Semarang. Tanah
keraton yang menyimpan telur ayam, mantel biru masih
menyanyikan keroncong Portugis. Bau tebu, bau padi, bata
merah yang dibakar. Aku telah Yogyakarta setelah berhasil
menjadi orang sibuk  tidak mandi 2 hari, menggunakan excel
untuk agenda-agenda padat. Dan bir dingin di antara janji-
anji.

Aku telah dua kota dalam perjalanan dua jam bersambung
sepeda jam 6 pagi. Biarlah aku sampai ke batas tepi ini, untuk
jejak yang membuat lubangnya sendiri. Sebuah kota yang
terbuat dari jam 6 pagi, dan aku mempercayainya seperti
genta yang berbunyi tanpa berbunyi, bayangan gunung
sebelum biru dan sebelum kelabu dan sebelum disini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar