Selasa, 05 Oktober 2010

Maha -- Samuel Mulia

Untuk pertama kalinya tahun ini, saya melangkahkan kaki ke sebuah universitas. Sebuah rumah pendidikan yang tak menarik hati saya. Dari dahulu sampai sekarang. Ya, dosen-dosennya, ya belajar dan ujian akhirnya, serta membuat pekerjaan rumahnya. Tetapi, siang itu saya melangkah dengan perasaan rindu setengah mati. Bukan kepada semua yang saya sebut di atas. Tidak mungkin bukan merindukan hal yang tidak menarik hati?


Maha(siswa)

Saya rindu kepada masa menjadi mahasiswa, masa dimana soknya setengah mati. Bangga merasa sudah dewasa, menganggap mengerti segalanya. "Ha-ha-ha...kamu suka gitu deh...suka lupa kalau sampai sekarang masih menganggap mengerti segalanya." Suara hati itu memang kemana-mana maunya ikut saja.

Rasa rindu itu semakin terasa saat melangkah ruang perpustakaan yang berbeda dengan ruang yang pernah saya kunjungi nyaris tiga puluh tahun lalu. Dulu tak ada ruang berpendingin, tidak ada lounge mewah di dalamnya. Melihat rak-rak penuh dengan buku, tempat duduk dengan mejanya untuk belajar dan membuat contekan, serta jadi tempatngeceng membuat rasa kangen itu semakin menjadi.

Siang itu saya datang memenuhi undangan acara talk show. Di hadapan saya ada sekitar lima puluhan mahasiswa yang muda, yang diantaranya sempat membuat kepala cenut-cenut. Acara berlangsung cukup ramai dengan penuh gelak tawa. Tetapi, setelah kembali ke dunia yang sesungguhnya, saya mulai berpikir mengapa mereka disebut mahasiswa.

Maha artinya 'besar sekali, paling, paling segalanya'. Jadi mahasiswa itu artinya siswa yang paling? Bisa paling kurang ajar, bisa paling santun? Apakah dengan predikat yang maha itu, mereka berhak menggunakan pakaian seperti baru bangun tidur, seperti yang saya perhatikan sore itu?

Saya tak tahu apakah maha dulu sama maha sekarang punya arti berbeda, dan ditanggapi dengan berbeda pula. Apakah maha itu sebuah predikat yang mampu membuat seorang dosen berkeluh kepada saya pada sore itu.

"Mahasiswa sekarang senangnya bikin sakit kepala. Kalau lagi kuliah, main BB. Nanti kalau tidak lulus, datang kepada saya dan ngomong gini "Pak mbok tolong saya. Kalau saya nggak lulus, Bapak saya marah karena Bapak saya sudah tua dan uang yang dipakai sudah pas-pasan untuk menyekolahkan saya." Di lain waktu, ada yang mengatakan begini. "Pak saya kan kerja juga selain kuliah.Mbok mohon pengertiannya."

Maha(dosen)

Karena maha kah mereka bisa melakukan itu? Apakah itu yang disebut perilaku yang maha? Tentu saya tak mau dihajar sejuta mahasiswa kala mereka selesai membaca tulisan ini karena tak semua maha menjadi begitu. Tetapi, gambaran dan keluhan dosen pada sore itu membuat saya berkaca seperti biasa. Soal membuat orang lain harus bertanggung jawab atas kesalahan yang saya buat.

Mengapa saya begitu egoisnya menyeret orang untuk ikut bertanggung jawab atas sesuatu yang tidak mereka lakukan? Dan mengapa kemudian saya naik pitam karena mereka tidak mau saya seret? Mahasiswa mau kerja sambil kuliah, atau mau tidak lulus dengan mengedepankan alasan kesulitan keuangan, itu juga bukan urusan dosen. Itu keputusan si Maha, yang mau kerja sambil kuliah, dan yang mau tidak bertanggungf jawab untuk kuliah dengan baik.

Kalau tidak mampu, jangan menyuruh manusia lain bertanggung jawab atas ketidak mampuan itu. Mungkin sebaiknya sedikit berpikir tenang sebelum menghadap dosen. Tanyakan, kalau bisa beli BB, kok berkeluh uang kuliahnya pas-pasan.

Kalau dosen tidak membantu si Maha mulai mengomel. Dosen sialan lah, dosen gitu lah, gini lah. nanti kalau dibantu, si Maha bisa jadingegosiP kalau yang itu dan yang inu, bisa dirayu dengan mudah, hanya dengan menyodorkan alasan kelelahan batin serta fisik.

Dan tak tanggung-tanggung, sekarang curhat kejelekan dosen dibeberkan habis di Facebook, di Twitter. Ini bukan saya yang icara, tetapi salah satu manusia senior di gedung pendidikan itu. Menjadi mahasiswa diharapkan menjadi lebih dewasa ketimbang masa menjadi siswa SMA biasa. Tetapi, pertanyaannya kemudian, dewasa yang seperti apa?

Taksi yang saya tumpangi belum juga sampai di tempat tujuan karena sore itu Jakarta seperti biasa senangnya bercengkrama dengan kemacetan Dan di tengah kemacetan itu ada pertanyaan. Beini. Maha-kah mereka kalau sampai mampu membuat dosen diletakkan pada posisi kefefet? Maha-kah mereka kalau di halamam pendidikan itu ada yang berjualan narkoba, menghamili sesamanya, menyontek, bahkan mungkin ada yang menjadi pelacur?

Pertanyaan lain muncul. Mengapa dosen tak disebut mahadosen? Coba renungkan apakah anda pernah mendengar tanya jawab seperti ini.

Pertanyaan: "Pak, kerja di mana?"

Jawaban : " Di universitas A."

Pertanyaan lagi, "Kerja sebagai apa, Pak?"

Jawaban : "Mengajar. Jadi dosen, Dik."

Bagaimana dengan tanya jawab yang satu ini.

Pertanyaan : "Dik, mahasiswa ya?"

Jawaban : "Ya, Mas." atau "Bukan, Mas."

Saya cuma mikir, ini yang patut bergelar maha itu yang mana ya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar