
Maka, tepat di hari saya beberapa bulan lalu, saya melayang di dalam pesawat baru itu. Memang benar duduk di kelas bisnis dan ekonomi itu bedanya duduk di rumah makan bintang lima dan warteg. Di kelas bisnis tidak hanya bisa duduk, tetapi bisa setengah tidur dan tidur terlentang. Di kelas ekonomi tak hanya bisa duduk, tetapi setengah kemeng dan kemeng beneran.
Judes, ramah, atau senyum-senyum ?
Selama penerbangan satu jam lebih sekian menit, saya tertarik pada manusia-manusia yang melayani saya. Bukan soal jenis kelaminnya, tetapi bagaimana mereka melakukan pekerjaan ini. Sampai-sampai saya ingin sekali bertanya, apakah perasaan yang timbul ketika mereka sedang melayani? Apakah merasa jadi pembantu? Atau merasa bahwa melayani itu sebuah profesi mulia dan menyenangkan? Atau tak merasa apa-apa?
Tentu saja saya tidak melakukan wawancara atau bertanya seperti kalau sedang dalam sebuah focus group discussion. Nurani saya malah balik bertanya kepada diri saya sendiri. Saya pikir, kalau saya terbang tinggi, nurani tidak ikut serta, eh...di langit juga bersuara. Apa perasaan saya kalau sedang melayani? Seperti babu atau orang suci?
Mengapa saya berpikir demikian. Karena setelah sekian puluh kali naik pesawat segala macam dan di kelas segala rupa, selain banyak pramugara dan pramugari yang baik, tetapi banyak pula yang tak kalah jutek-nya. Ada yang mukanya merengut, sudah mirip kepala sekolah saya dulu. Lihat muka sang pramugarinya saja saya mending menahan haus daripada minta tambah lagi. Maka, untung ada air liur, ditelan saja sebagai pengganti minuman.
Ada yang wajahnya perlu botox dan tak menarik, yang rambutnya ubanan, selain ada yang berbadan ramping dan senyam-senyum kemana-mana. Sampai saya pikir, ini karena ia melayani dengan suka cita atau karena SOP yang harus di jalani? Bahkan, saya pernah membaca di sebuah harian nasional negara tetangga, seorang pramugari menjadi selingkuhan seorang pembisnis yang membuat istri sahnya mencak-mencak. Habis membaca itu, saya pikir, ini pasti karena kebanyakan senyam, senyum, senyam, senyum.
Nurani saya berteriak. Ia bertanya, saya itu masuk kategori jutek, ubanan, erlu botox, apa senyam, senyum.
SOP atau persembahan jiwa
Apakah seperti kategori kelas di kehidupan masyarakat atau di dalam pesawat? Perbedaan kelas itu selalu ada dan dari perbedaan kelas itulah cara melayaninya jadi berbeda. Saya teringat ada kalimat berbunyi, ada harga, ada rupa. Tetapi benarkah itu? Benarkah saya melayani karena ada kelas yang membedakan? Ada harga yang saya patok sehingga layanan saya menjadi terbatas? Misalnya, kalau saya duduk sebagai wakil rakyat, rakyat macam apa yang saya layani, rakyat di kelas mana tepatnya.
Kalau saya jadi pramugara atau pramugari, apakah saya mengucapkan selamat datang atau selamat jalan dengan senyuman, apakah akan ada perbedaan antara kelas ekonomi dan bisnis atau kelas utama. Apakah lebarnya senyuman akan membedakan itu? Atau, misalnya, mengapa pelayan di kelas bisnis tersenyum lebih banyak atau lebih memberi a helping hand ketimbang yang duduk kemeng di kelas ekonomi?
Dalam keadaan melayang itulah, saya menikamati kursi baru yang bisa menjadi tempat tidur itu. Kemudian melihat langit-langit kabin serba putih dan mulai berpikir. Mungkin perusahaan penerbangan ini bisa membeli armada terbaik mengalahkan armada tetangga sebelah, bisa dan sudah menyediakan tivi dengan layar sentuh, padahal fasilitas pesawat di tetangga sebelah belum ada.
Menyediakan chef terbaik untuk menyajikan makanan buat perut para pembisnis atau para kaki kemeng, memiliki fasilitas ruang tunggu yang nyaman, futuristik, dan sejuta fasilitas maju beribu langkah, tetapi siapa yang menjalankan fasilitas sejuta langkah itu bisa dinikmati? Manusianya, bukan?
Maka langit-langit putih di dalam kabin itu seperti cermin yang menghadap pada wajah saya dan bertanya kualitas manusia macam apa saya ini sehingga saya bisa atau tidak melayani sesamanya? Kalau bisa melayani, seperti apa melayaninya? Tak memandang bulu atau malah memandang bulu? karena buat saya melayani memang harus punya mental bedinde, tak bisa mental tuan. Melayani membutuhkan kesehatan jiwa yang melayani. Jadi mau burung raksasa yang saya miliki fasilitas terbaik di dunia, kalau manusia yang melayaninya tidak sehat, yaaa...fasilitas yang terbaik itu tidak berguna apa-apa.
Melayani itu membutuhkan keberanian untuk menjadi rendah hati, keberanian untuk membebaskan diri dari mempertahankan eksistensi diri. Kalau bisa seperti itu, maka kebaya yang cantik di badan langsing, senyum, dan tangan yang terkatup di dada sebagai sebuah sambutan selamat datang atau ucapan terima kasih akan dirasakan sebagai sebuah persembahan jiwa, bukan sebuah eksekusi mematuhi SOP.
Coba uji, apakah jiwa anda sehat, cukup sehat, tidak sehat dengan menjawab pertanyaan ini. Kalau Anda jadi pramugari atau pramugara dan melihat tiga manusia duduk di dalam kabin di kelas ekonomi. Yang satu TKW yang tak bisa mengisi formulir kedatangan dengan logatnya yang gitu deh, kemudian ada wakil rakyat yang wajahnya kondang, berbadan besar, berpenampilan macam pebisnis, dan di bagian lain ada ibu yang muda, cantik, harum mewangi, dengan tas bermerek dan aksesor berlian dan emasnya, apakah Anda melayani mereka dengan kualitas yang sama? Keramahan yang sama? A helping hand yang sama?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar