
Samuel Mulia
Ini adalah pengalaman bertahun lamanya mengalami perlakuan kalau pembeli itu bukan raja. Menjadi orang setengah miskin dan setengah kaya seperti saya ini mumet.
Beberapa tahun lalu, saya diajak ke salah satu private club di Hongkong oleh teman saya yang kaya raya. Salah, saya salah menulis. Teman saya ini tak punya apa-apa, orangtuanya yang punya segalanya. Jadi, dia hanya anaknya orang kaya, bukan orang kaya. Maka, benarlah kata Coco Chanel. ”There are people who have money and people who are rich.”
Maka, saya sering bingung kalau melihat anak orang kaya yang sombongnya setengah mati. Lha wong ndak punya apa-apa kok sombong. Mungkin saya iri, tetapi otak saya mulai berpikir, kalau baru jadi anak saja sudah jemawa seperti itu, bagaimana kalau dapat warisannya? Nurani saya berteriak, ”Kamu bukannya mungkin iri. Kamu pasti iri. Saya
Jemawa I
Untuk menjadi salah satu anggota kelab itu, seseorang membutuhkan dana besar. Katanya tak hanya dananya yang perlu, tetapi networking-nya juga menjadi perhitungan menjadi salah satu prajurit kelab itu. Atau kalau bukan anggota, seseorang harus menjadi sosok superkondang dulu, bukan kondang saja. Jadi, sebagai manusia miskin enggak, kaya enggak, saya tak mampu menggoyahkan pemilik kelab itu untuk menjadikan saya sebagai salah satu prajuritnya.
Dari saat itulah, saya sakit hati mengapa saya diperlakukan demikian. Saya dibedakan. Istilah private club saja sudah membedakan. Saya bertanya sama Gusti Allah, kok bapak saya enggak superkaya. Apalagi saya diajari kalimat jitu nan legendaris: pembeli itu raja. Jadi, mau miskin, kaya yaaa… dilayani bak raja. Kalimat itu
Pengalaman dilecehkan sebagai manusia berstatus sosial setengah-setengah sangat terasa saat saya masuk ke dunia mode yang gemerlap dan arogannya setengah mati dan yang setelah saya masuki isinya yaaa… gitu deh. Cuma gitu deh saja arogannya setengah mati. Sejujurnya arogansi itu sangat terasa di level keroco-keroconya yang status sosialnya sebelas dua belas dengan saya, termasuk kuli tintanya.
Semua di tingkat rendahan. Lha wong cuma kuli kok arogan. Suara dari dalam berteriak. ”Itu hebatnya duniamu. Kuli saja bisa arogan. Situ lagi ngomongin diri sendiri?” Di dunia jemawa inilah, saya mengerti kalimat pembeli itu raja nyaris tidak berlaku sama sekali.
Mengapa tiba-tiba saya mengingat kejadian masa lampau dan yang masih saya alami sampai sekarang bahwa saya pembeli, tetapi bukan diperlakukan bak raja? Pada suatu akhir pekan, saya berbicara dengan salah satu konglomerat muda di rumahnya yang luas nan asri dan indah. Kami mengobrol sampai nyaris pukul satu pagi. Tetapi, yang menempel di benak saya adalah kalimat yang keluar dari mulutnya. ”Kami itu harus melayani customer. Penuhi keinginannya.”
Jemawa II
Saya gila barang bermerek sejak lama. Gila banget malah. Untuk memiliki barang bermerek, saya harus pergi ke toko. Oh... salah… ke butik. Toko bukan istilah dunia mode. Saya selalu sakit hati kalau masuk di butik kondang itu. Mereka sering melecehkan saya. Perhatikan bagaimana SPG menggunakan mata dan bahasa tubuhnya saat menit pertama Anda masuk ke butik mereka.
Mata mereka bak detektor yang akan memberi tanda saya ini setengah kaya, kaya, atau kaya beneur. Itu yang akan menentukan mereka mau melayani atau tidak. Kadang saya didiamkan saja. Mau itu di Jakarta atau Paris dan New York. Sami mawon. Apalagi kalau dapat SPG yang seperti saya, laki tidak perempuan pun bukan.
Saya selalu deg-degan karena tabiat mereka. Saya nekat karena keinginan akan barang bermerek itu mengalahkan rasa dilecehkan meski setelah keluar dan berhasil saya menggerutu karena disakiti demikian. Paling menyebalkan, saya sudah mengeluarkan uang kok ya masih dilecehkan. Kalau sudah begitu, nurani saya selalu menghibur. Hiburannya begini, ”Makanya, jadi orang jangan belagu juga. Enggak enak
Awalnya, saya tak tahu dunia yang satu ini adalah sumber pelecehan. Waktu saya mewawancarai sekian kali desainer dunia, yang pertama melecehkan adalah yaa… keroco-keroconya bernama resepsionis, asisten PR yaaa… kadang PR-nya sendiri, atau asisten desainernya. Yang saya sebut terakhir, weleh-weleh-weleh, kadang sudah seperti Tuhan.
Saya berpikir apa yaaa... corporate culture perusahaan fashion itu memang harus demikian sehingga orang-orang yang di dalamnya menjadi monster arogan. Saya sendiri sampai sekarang tak tahu. Mengapa susah sekali menjadi makhluk biasa-biasa saja di tengah kegemerlapan?
Mungkin manusia-manusia di bisnis mode itu mesti mematrikan kalimat Coco Chanel sebagai embahnya mode. ”Some people think luxury is the opposite of poverty. It is not. It is the opposite of vulgarity.”
Mungkin vulgarity itu salah satunya berwujud arogansi dan membuat perbedaan, bukan rok supermini atau atasan yang mempertontonkan aurat semata. Mungkin makhluk di bisnis mode malah tidak tahu lawannya kemewahan adalah kevulgaran.
Saya bukan siapa-siapa. Saya hanya jalan kaki dan tak punya mobil yang bisa menurunkan saya di depan pintu butik untuk membuktikan saya mampu membeli. Dunia mode senangnya menipu dan ditipu. Kalau turun dari mobil mewah, itu sama dengan kaya. Turun dari busway, itu sama dengan adik tirinya kaya. Pada waktu pelecehan itu terjadi—lewat bahasa tubuh dan mata SPG—saya berpikir, katanya pembeli itu raja, kok kayak gini? Jadi, di mana letak rajanya?
Masih ingat, saya pernah mengutip artikel yang ditempelkan teman saya di dinding ruang kerjanya, bunyinya: Stop thinking like a bank, start thinking like a customer? Kalau tidak yaa… enggak papa. Pikun itu sekarang sudah menjadi gaya hidup. Bahkan, sudah sejak lama, terutama pikun buat bayar utang.
Nah, pengalaman saya di dunia mode membuat saya berpikir mereka tak melirik frase semacam itu. Mereka yang raja. Nurani saya berteriak. ”Booo... Goblok itu mbok jangan dipelihara. Kalimat itu buat bank, layanan umum. Kamu dari dunia yang kelihatannya umum, tetapi enggak mau melayani umum, yang milih-milih... Yaaa... enggak nyambung....”
Samuel Mulia Penulis Mode dan Gaya Hidup
( sumber dari koran kompas )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar