Jumat, 01 Januari 2010

Teman


Minggu, 20 Desember 2009 | 03:18 WIB

Samuel Mulia

Saya bukan teman yang baik. Sama sekali tidak. Banyak orang tahu, terutama mereka yang cukup dekat. Waduh… kalau mau diterangkan mengenai tidak baik, banyak sekali. Egois. Saya menghubungi teman hanya kalau ada perlunya. Menyapanya singkat, cepat, dan basa-basi. ”Hello… pa kabar, Mas… baik kan? Gini loh….”

Saya tak memberi kesempatan mereka membalas sapaan basa-basi itu. Saya juga tak perlu mendengar kabar teman itu, yang penting tujuan saya tercapai.

Saya bukan manusia suportif, peka terhadap hal kecil, karena terlalu malas. Buat saya tak penting meski buat orang lain penting. Saya berpikir orang bisa berpikir seperti saya, padahal tidak sama sekali. Saya teman yang munafik dan tak berani mengambil risiko pertemanan. Saya cari amannya saja.

Saya teman yang membicarakan teman. Baik atau tidak baik. Saya plin-plan mengubah jadwal pertemuan sak enak udel dewek. Saya hanya melihat dari kacamata saya, acap kali tak sensitif. Kalau bicara bahasanya kasar, jorok kata teman-teman. Terlalu to the point. Tak semua orang bisa menerima.

”That’s what friends are for”?

Saya beruntung ada orang mau berteman dengan saya. Alasannya macam-macam. Ada alasan yang saya tahu, ada yang saya tak tahu. Saya malah sering kali bingung dan salut dengan mereka yang mau berteman dengan saya. Mereka seperti malaikat yang dikirim Tuhan agar saya tak sendiri. Penjahat saja masih dikirimi malaikat untuk dijadikan teman.

Ini contoh teman yang malaikat dan saya yang egois. Saya tinggal di rumah teman berbulan lamanya karena apartemen saya direnovasi. Itu berarti pembayaran listrik dan air teman saya bertambah. Tetapi, ketika teman itu membutuhkan sesuatu, saya tiba-tiba lupa membalas kebaikan dia meminjamkan tempat tinggal serta bayar air dan listrik itu.

Kalau saya menyimak lagu berjudul macam That’s What Friends Are For, saya mempertanyakan kembali diri sendiri, kata for itu apa? Dari kacamata seorang manusia egois, berteman buat saya hanya for membutuhkan pertolongan. Titik. Pertolongan waktu saya sakit, waktu butuh undangan masuk ke kelab malam baru karena tak diundang, waktu butuh mobil saat tak bisa jalan karena kaki terpuntir dan kesakitan setengah mati, ketika butuh mengurus berkas administratif, dan sejuta kebutuhan lain. Buat saya teman itu sebelas dua belas dengan balai keselamatan.

Berhitung

Pernah saya bertanya kepada diri sendiri soal pertemanan. Kalau saya seorang teman, apakah saya punya kewajiban tak tertulis harus ini dan itu? Kalau saya berteman, apakah artinya harus memberi tahu seluruh kegiatan saya kepada mereka? Dan kalau saya tak memberi tahu dan kemudian mereka naik pitam, bukankah itu hak saya sebagai teman untuk tidak berbagi semua aktivitas saya?

Kalau membuat pesta apakah saya wajib mengundang teman-teman dekat bukan sahabat, supaya mereka tak tersinggung? Bagaimana kalau sesekali waktu saya ingin keluar dari pertemanan dua puluh empat jam itu tanpa menyinggung mereka? Apakah akhirnya yang dimaksud saya sebagai makhluk sosial adalah mengeliminir kehidupan pribadi?

Sekarang saya tahu mengapa saya bukan teman yang baik: saya tak mampu melakukan kewajiban serta menanggung risiko dan tuntutan pertemanan itu, dari manusia yang berharap banyak kepada saya. Sama seperti mengapa saya mau mencintai dan dicintai, tetapi tak suka risiko mencintai dan dicintai. Saya tak suka keribetannya dalam berhubungan. Belum memikirkan mood pasangan yang naik-turun.

Sama seperti mood teman-teman saya yang naik-turun. Contoh kecil saja. Ada teman yang baik, tetapi kalau bertemu di pesta tiba-tiba menjadi makhluk berbeda, menjaga jarak, seperti baru berkenalan lima hari lalu. Itu membingungkan, itu memainkan emosi, dan itu menyebalkan. Nah, itu yang tak bisa saya tanggung, tak sanggup tepatnya. Dan saya dihakimi karena ketidakmampuan saya, karena ketidakmauan berisiko.

Saya mulai mikir, ternyata jadi teman lebih berat ketimbang ujian UMPTN. Semua terkait emosi, perasaan, bukan logika. Kalaupun logika, sedikit sekali digunakan. Sampai pernah sekali waktu saya berpikir mending enggak punya teman. Banyak kewajiban tak bisa saya penuhi, yang bisa mengecewakan mereka. Karena seperti semua hal di dunia, bukan hanya karena senang melakukan, tetapi apakah mampu dilakukan. Senang dan mampu itu berbeda seperti laki dan perempuan.

Jadi, apakah berteman sama dengan berhitung? Sana kasih lima, sini wajib kasih lima? Bagaimana kalau saya hanya mampu memberi tiga, karena bukan saya tak mau, tetapi saya tak mampu? Nurani saya bilang begini, ”Itulah kenapa kamu disebut egois. Bersyukurlah ada yang mau berteman dengan kamu. Mereka itu selalu mau menerima kalau lo bisanya cuma kasih tiga atau malah kurang dari itu....”

Samuel Mulia Penulis mode dan gaya hidup

( sumber dari koran kompas )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar