
Samuel Mulia
Saya hadir di pesta jetset. Malam itu, di tengah hiruk pikuk tamu cantik dan tampan, di tengah hujan cium pipi dan tawa penuh basa-basi dan teguran yang sekadarnya agar kelihatan santun, dan di tengah santapan lezat dan peragaan busana cantik, tiba-tiba saya diserang perasaan yang menimbulkan ilustrasi di dalam kepala bahwa kehadiran saya seperti sedang melakoni pertunjukan kehidupan.
Lakon itu berbagai macam banyaknya. Dunia seperti teaternya. Saya melakoni kehidupan pagi, siang, sore, dan malam. Bersama orang banyak atau sendirian. Di luar atau di dalam rumah. Dalam keadaan itulah saya harus memenuhi aktivitas teater kehidupan. Bisa menjadi siapa saja, tanpa batas.
Maka, di pesta itu saya berkhayal memasuki lakon kehidupan. Mencium dengan basi dan mencaci dengan tabiat asli. Khayalannya seperti ini. ”Lo tu yaa… bisaaa aja. Khayalan? Hi-hi-hi… bukan itu hidup lo sesungguhnya?”
Pagi
Saya tinggal sendiri. Di rumah saya bebas melakukan apa saja, termasuk bertelanjang karena tak ada manusia lain yang melihat. Jadi, orang tak bisa menyebut tak sopan. Sama seperti bermain saham, sebelum me-redeem saya tak bisa dikatakan rugi atau untung.
Ketika keluar dari pintu rumah untuk pergi ke klien, maksud saya ke kantor, saya bukan hanya melakukan kegiatan profesional karena saya yang menjadi simpanan juga seorang ”profesional”. Bukan profesional itu yang saya maksud. Anda mengerti maksud sayakah? Karena saya pernah dikatakan kupu-kupu dua puluh empat jam, sementara kupu-kupu malam hanya beroperasi malam hari, pagi dan siang hari bisa jadi mereka istirahat.
Nah, saya tak pernah punya waktu istirahat. Lha wong disimpannya di atap rumah yang menyimpan, mau tak mau selalu harus siap kalau serangan datang kapan saja. Saya menampik dengan, ”Saya bukan kupu-kupu. Saya berperan sebagai ibu rumah tangga, jadi yaa… memang harus siap dua puluh empat jam.”
Pagi itu, dengan alasan profesional, saya terpaksa mengenakan pakaian untuk memenuhi penilaian saya manusia bermoral, tahu aturan. Pakaian saya juga disesuaikan dengan keadaan pagi itu. Karena mau bekerja, saya mengenakan baju kerja, bukan baju pesta. Itu dua dunia pagi yang saya lakoni. Di dalam rumah saya telanjang dan jadi kupu-kupu, di luar saya berpakaian dan menjadi profesional.
Siang
Saya bisa menjerit kalau melihat hal tidak beres, saya memanipulasi apa saja asal menguntungkan perusahaan, kemudian mengikuti organisasi mahamulia hanya untuk melakoni peran supaya terlihat mulia.
Kemudian datang kuli tinta dari koran ini, mau diwawancarai. Saya bersedia. Padahal, buat koran kelas teri, saya ogah. Saya memilih media untuk membangun brand saya. Jadi saya very picky. Yang tahu tabiat macam itu hanya nurani dan sekretaris pribadi sebagai orang terdekat setelah selingkuhan.
Saat wawancara, semua saya atur. Baju, penampilan, bahasa tubuh, dan terutama isi wawancara. Pokoknya ucapkan kata-kata positif, mulia, dan tak perlu sindir-sindiran. Fakta itu harus dikemas dalam bungkus indah sehingga mereka yang baca harus melihat saya seperti malaikat.
Misalnya, ada pertanyaan, ”Mas, sudah hampir setengah abad kok masih sendiri, kapan rencana menikah?” Pertanyaan enteng-enteng kurang ajar itu akan saya jawab, ”Waduh… masih belum ada yang cocok. Saya pasrah saja sama Tuhan, kan katanya cinta datang sendiri.” Seperti yang saya katakan di atas, hanya nurani dan sekretaris pribadi yang tahu saya tak pasrah dengan Tuhan, tiap saat mencari pacar sesama jenis.
Atau contoh lain, seperti membuat iklan rambut atau produk kecantikan. Rambut kurang hitam, dihitamkan. Kulit wajah berkerut, dihilangkan. Kemudian diberi efek kilau rambut dan kulit tampak bercahaya. Pokoknya supaya tampak indah meski setelah sekian botol sampo dan krim, yaa… rambut enggak berkilau-kilau, kulit tak bercahaya-cahaya. Yang paling menyesakkan dada, tak ada lelaki tampan yang mendatangi seperti di dalam iklan.
Sore dan malam
Sore hari saya mempersiapkan penampilan. Memasang aksesori berlian yang saya dapat dengan menodong pengusaha pria yang saya tahu sedang menaksir saya. Karena sudah dicoba pergi sendiri ke toko berlian dan menodong dengan perkataan ”Anda tahu siapa saya?” ternyata tak berhasil, jadi saya pakai orang kedua kaya raya untuk memindahkan aksesori ratusan juta itu dari dalam toko ke telinga.
Soal baju? Karena saya bekerja di media, saya bisa mendatangi salah satu butik kondang, tak perlu beli, pinjam saja, nanti imbalannya diberi satu halaman iklan. Atau, pura-pura ke desainer Indonesia mau buat baju dengan pikiran, mereka pasti akan kasih gratis. Kan selama ini saya sudah mendukung mereka. Oh… jangan lupa, masih ada penyewaan tas. Jadi, saya pakai tas bermerek jam-jaman supaya enggak malu-maluin.
Di pesta saya bersukacita, tertawa dalam aroma semerbak wangi. Tetapi, siapa yang tahu sejujurnya saya tidak punya apa-apa dan kesepian. Sepulang dari pesta itu saya tahu pasangan saya menyimpan manusia lain di tempat lain dan malam itu bukan jatah saya untuk didatangi sebagai istri pertama. Itulah dua dunia sore dan malam hari saya. Orang lain tahu saya harum mewangi, nurani saya sendiri tahu saya busuk dan baunya setengah mati.
Samuel Mulia Penulis Mode dan Gaya Hidup
KILAS PARODI
Bermuka Dua
1. Bukan cuma koin atau uang kertas yang ternyata punya dua muka atau muka dua.
2. Di urusan bisnis mungkin penting punya dua dunia. Maksud saya, punya yayasan untuk tujuan mulia, tetapi melakoni hidup seperti koruptor dan tukang todong berpakaian profesional. Hasilnya dibagikan kepada kaum tak beruntung itu. Jadi, yayasan menjadi sabun cuci sehingga ketika ditanya pemilik jagat raya, saya bisa mengatakan, ”Tuhan, saya diajar balance sheet, jadi saya impas. Korup, tetapi saya punya yayasan yang membantu kaum tak beruntung. Kalau Tuhan tak puas, jangan salahkan saya, salahkan yang mengajarkan balance sheet.”
3. Saya pernah menanyakan kepada ayah saya mengapa ia selalu berusaha menjadi kaya. Ia menjawab, ”Kalau saya kaya, saya bisa menolong banyak orang.” Beberapa minggu setelah ia meninggal dunia, ketika saya menanyakan hal yang sama kepada orang kepercayaannya, dia berkata, ”Bapakmu selalu bercita-cita jadi konglomerat.” Jadi, menolong yang kelihatan mulia itu cuma alasan. Pengakuan menjadi target terpenting.
Kejujuran sejak awal penting sekali. Manipulasi itu yang membuat seseorang membutuhkan dua dunia. Contoh tergampang, tanya teman Anda yang punya kecenderungan mencintai sesama jenis. Banyak dari mereka harus punya dua dunia.
4. Dua dunia juga bukan hanya dua macam lakon berbeda, tetapi juga berarti standar ganda. Membuat laporan keuangan yang dibuat dua sampai tiga versi, misalnya.
5. Jangan membiasakan berpikir, Sang Pencipta punya dua dunia dan standar ganda saat game over Anda tiba. Apalagi berpikir menyogok Sang Pencipta, terutama buat mereka yang terbiasa di dunia ini menyogok dan menyodok siapa dan apa pun. Menurut saya sih enggak bisa. Itu saya, loh.
( sumber dari koran kompas )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar