Kamis, 09 Juni 2011

Tatkala Sunyi Bernyanyi


Api kekerasan yang semakin membara, itulah ciri peradaban di awal 2011 ini. Bayangkan, Mesir yang memiliki akar peradaban yang tua sekaligus membanggakan, harus menurunkan pemimpinnya dengan kekerasan. Amerika Serikat yang lama disebut tauladan peradaban, belakangan pemimpinnya saling menyerang dengan tuduhan kasar dan sarkastis. Negeri ini yang memiliki akar-akar kesantunan yang kokoh, ditandai oleh kekerasan atas nama agama dengan grafik yang terus menaik.

Pulang

Sekian ratus tahun lalu, manusia memang pernah dibikin gelap oleh dogma. Ini kemudian membukakan pintu bagi munculnya mentari akal sehat. Mentari inilah yang belakangan berbuah menjadi peradaban dengan akar-akar ilmu pengetahuan dan teknologi. Awalnya, mahalnya teknologi membuat ia hanya beredar di kalangan terbatas yang lebih dewasa. Belakangan, harga teknologi yang murah membuat ia bernasib serupa pistol di tangan anak-anak. Sehingga jadilah teknologi kendaraan kekerasan yang menakutkan.

Bila di zaman George Washington lembaga kepresidenan Amerika Serikat amat berwibawa, di zaman Barack 0bama presiden berpidato di senat diinterupsi dengan teriakan bohong. Jika di zaman Majapahit raja diidentikkan dengan reinkarnasi dewa sehingga tatanan terjaga rapi, sekarang bahkan ada yang tega menghina pemimpin serupa kerbau.

Peradaban kekinian serupa tubuh manusia yang bingung, topi (baca: pemimpin) yang seyogyanya menjadi penutup kepala diinjak di kaki. Sepatu (baca: kemarahan) yang sepatutnya menjadi alas kaki diletakkan di kepala. Inilah cosmic disorder. Bila kemudian alam berespon dengan kekacauan (tsunami, gempa, banjir) tentu bukan kebetulan. Menghadapi masa depan seperti ini, mungkin layak merenungkan pulang  ke rumah tua yang lama ditinggalkan yakni sepi-sunyi yang menyentuh hati.

Berpelukan

Bagi kebanyakan orang, Tuhan, Allah, Buddha mungkin terlalu rumit untuk dipahami. Tapi mudah dimengerti jika dikatakan semua manusia lahir dari sepasang orang tua yang berpelukan dengan penuh kasih sayang. Ini tidak saja menjadi pesan biologi, tetapi juga menjadi pesan spiritual bahwa berpelukan (baca: melampaui dualitas) itulah asal muasal kehidupan. Benar bukan musuhnya salah, baik tidak berlawankan buruk, suci tidak berperang dengan kotor. Keduanya hanya sepasang \”orang tua\” yang terus membimbing pertumbuhan.

Serupa sungai, ia indah karena berisi  air yang lembut serta batu yang keras. Mirip langit, ia terlihat terang menawan bila pernah gelap ditutupi awan. Jika ini acuannya, layak dikaji ulang cara banyak pihak dalam memandang kehidupan. Terutama dengan menempatkan diri selalu benar, sementara pihak lain (pemerintah khususnya yang sering jadi korban cercaan) adalah salah. Sebaliknya, sudah saatnya pemerintah belajar menempatkan kritik sebagai ungkapan kasih sayang. Bukan sebagai kegiatan makar yang menjatuhkan.

Kembali ke cerita \”orang tua\” peradaban, di setiap zaman (bahkan di zaman di mana lahir nabi pun) ada ketidaksempurnaan. Sehingga dibandingkan menggunakan ketidaksempurnaan sebagai bahan kekerasan, mungkin layak direnungkan ulang untuk bertumbuh secara berpelukan. Di puncak pelukan ini kemudian terlihat semua sempurna apa adanya.

Kesempurnaan ini bukan kemudian melarang pengamat mengkritisi pemerintah, mengundang pemerintah agar membungkam kritik. Sekali lagi bukan. Tetapi  undangan untuk kembali ke sifat alami. Jika sifat alami air basah, sifat alami api panas, sifat alami manusia adalah kasih sayang. Ada memang manusia yang bertumbuh dengan cara menendang.  Akibatnya, kehidupan kelelahan mengikuti naik turunnya gelombang. Tatkala naik, manusia gembira sebentar tapi sedih saat kegembiraan menghilang. Saat turun, lagi-lagi manusia meratapi kesedihan. Ini berbeda dengan para bijaksana yang sudah pulang. Kegembiraan bukan ibunya kemelekatan yang membawa penderitaan kemudian, tapi udara segar yang menyegarkan perjalanan. Kesedihan bukan hukuman, hanya amplas yang menghaluskan.

Bagi sebagian orang, cara memaknai seperti ini bisa disebut pasrah, bahkan tolol. Tapi yang sudah pulang tahu, sunyi-sepi bukanlah saudaranya tidak peduli. Sunyi-sepi yang membimbing manusia menuju rumah pencerahan adalah sunyi-sepi yang dipeluk oleh kasih sayang. Ia serupa sepasang sayap burung. Sayap kiri bernama sunyi-sepi (baca: semua sempurna apa adanya, tetua Bali menyebutnya nyepi lan ngewindu), sayap kanan bernama kasih sayang (urip lan nguripi). Manusia yang sudah sampai sini serupa pohon. Pohon di luarnya memang diam, tetapi  ia bekerja dua puluh empat jam sehari. Dan semua bunga, buah, oksigen diperuntukkan buat orang lain.

Pengandaian lain, manusia yang telah pulang menyerupai ruang. Dalam mata telanjang ruang sepertinya tidak melakukan apa-apa. Tapi sesungguhnya ruang mewakili ketidakberhinggaan keheningan sekaligus ketidakterbatasan kasih sayang. Terutama karena ruang menyediakan tempat pada apa saja dan siapa saja untuk bertumbuh. Jauh dari kemarahhan untuk menendang yang salah, jauh dari keserakahan untuk menggenggam yang benar. Inilah nyanyian-nyanyian sunyi. Setelah mendengar nyanyian sunyi, sahabat pengamat tetaplah mengkritisi pemerintah, aparat birokrasi teruslah menyempurnakan pelayanan. Bedanya kemudian cuman satu, berhenti berkarya berspiritkan kekerasan, jadikan karya sebagai kendaraan pulang ke rumah kasih sayang. Terutama karena kekerasan tidak saja akan mengundang kekerasan baru, tetapi juga menghindarkan seseorang dari perjalanan  untuk pulang. Bagi siapa saja yang mau pulang, kendaraannya hanya kasih sayang.

Seorang Guru yang sudah pulang ke rumah pencerahan  berpesan: Peace is not the absence of violence. Peace is the fruit of compassion. Kedamaian bukanlah keadaan tanpa kekerasan. Karena di setiap zaman ada yang memerankan peran antagonis. Kedamaian adalah buah dari ketekunan memupuk dan menyirami pohon kasih sayang. Selamat hari raya Nyepi! Semoga semua mahluk berbahagia.
 
Gede Prana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar