Kehilangan tempat berteduh, mungkin itu sebutan yang tepat terhadap pencari keadilan di Indonesia. Mirip ayam kedinginan waktu hujan tanpa peneduh, sedih dan trenyuh adalah warna dominan pencari keadilan.
Kepolisian dan Kejaksaan sebagai tempat berlindung, melalui cerita mafia peradilan terang-terangan ditunjukkan, kalau mereka bukan tempat berlindung yang sejuk. Temuan tim delapan yang menjadi tempat berteduh publik sementara, tanda-tandanya akan bernasib serupa tenda liar di kolong jembatan. Sebentar lagi roboh ditendang penguasa.
Pemimpin sebagai tempat berteduh, di mana-mana terjadi kelangkaan stok yang menyedihkan. Eropa dulunya sebuah cahaya. Sekarang di Eropa pun ada mantan perdana menteri yang dulunya dikagumi dunia, ikut-ikutan terjerat perkara korupsi. Di Indonesia, tatkala nurani publik kepanasan, pemimpin bukan rame-rame memberikan tempat berteduh berupa kepastian dan keteladanan hukum, sebaliknya malah mengkisruhkan suasana dengan langkah-langkah politik berbahaya. Dari menyebar pesan bohong, menyerang orang sampai mengatur pemberitaan.
Institusi agama dulunya adalah salah satu tempat berteduh yang sejuk. Di sini manusia dulunya berkumpul untuk kepentingan sejuk dalam bentuk berdoa, saling melayani, saling memperbaiki. Tatkala publik membutuhkan tempat berteduh, seyogyanya ada di antara mereka yang mendatangi pemimpin dengan memercikkan air kejernihan.
Keluarga dulunya adalah tempat berteduh yang menyejukkan. Terutama karena dalam payung keluarga hidup jadi sejuk dan lembut. Sekarang, angka perceraian meroket naik di mana-mana. Tempat kerja dulunya lebih sekadar tempat mencari nafkah, juga tempat saling berbagi. Sekarang, sikut-sikutan mengeras. Di bawah payung masyarakat berprestasi, pencari keteduhan masuk ke dalam kelompok malas dan tanpa masa depan.
Sehingga memunculkan keingintahuan yang mengharukan, ke mana manusia akan berlindung mencari kesejukan, keteduhan, keadilan?
Ada sosiolog yang menekuni kepercayaan sebagai lem perekat masyarakat. Tanpa perekat rasa percaya di antara kita, unit sosial mana pun mengalami keruntuhan. Dan melalui cerita transparan tentang mafia peradilan, lem kepercayaan ini yang sedang dibuat meleleh di sana sini.
Mungkin benar pendapat seorang sahabat, kekacauan kosmik terjadi di mana-mana. Tandanya, terjadi pembalikan-pembalikan menakutkan. Topi (kebajikan) yang mestinya di kepala, diletakkan di kaki. Sepatu (kemarahan) yang mestinya menutupi kaki malah menutupi kepala. Pemimpin yang dulunya menjadi sumber tuntunan, sekarang menjadi tontonan menyakitkan.
Kolam sejuk kebajikan
Mungkin karena kelangkaan tempat berteduh inilah, dalam meditasi murid dibimbing untuk berlindung pada tiga hal. Pertama, berlindung pada sifat-sifat bajik yang ada di dalam diri. Kedua, berteduh pada ajaran-ajaran yang membangkitkan kebajikan dalam diri. Ketiga, mencari bimbingan pada orang-orang yang melaksanakan kebajikan dalam keseharian.
Siapa yang punya kesempatan mengunjungi lembaga permasyarakatan akan tahu, manusia-manusia yang dijerat hukum, kebanyakan adalah orang baik. Lebih dari sebagian hanyalah kumpulan mahluk yang khilaf, tidak sengaja, tidak ada pilihan lain. Bila manusia yang diberi stempel bersalah saja oleh hukum, matanya masih memancarkan kebajikan, apa lagi kita-kita yang masih beredar di masyarakat.
Ini memberi inspirasi, mencemplungkan diri ke kolam sejuk kebajikan tidak hanya menjadi keseharian para suci, tidak juga menjadi sesuatu yang super sulit bagi orang kebanyakan, namun sesuatu yang bisa dilakukan siapa saja dan di mana saja. Ibarat berlian, kebajikan sudah ada di dalam diri manusia sejak awal hingga akhir. Untuk sementara waktu, karena ditutup lumpur kebingungan, kebencian dan kemarahan, berlian kebajikan masih tertutup lumpur.
Untuk itulah, dalam meditasi pelan perlahan lumpurnya dibersihkan dengan praktek kesadaran bahwa semua mau bahagia tidak ada yang mau menderita. Setiap gerak kehidupan yang diterangi oleh kesadaran, kemudian menjadi meditasi.
Lebih-lebih bila ia diperkaya dengan ajaran-ajaran kebajikan. Indahnya kebajikan, ia menyejukkan tidak saja setelah sampai di tujuan, bahkan ketika masih di perjalanan pun, hati sudah sejuk. Bagi yang sudah sampai di sini akan setuju, orang baik terlihat baik, orang jahat pun terlihat baik bila kita di dalamnya cukup baik.
Kehidupan mudah panas karena lumpur kemarahan, kebencian dan kebingungan demikian tebalnya, sehingga tidak ada kesempatan bagi berlian kebajikan untuk memancarkan cahayanya. Untuk itulah penekun serius di bidang ini akan hati-hati sekali bergaul, membaca, menonton. Bagi murid yang masih belajar menjadi stabil, bergaullah dengan para bijaksana. Nanti bila kesejukan sudah membadan dalam-dalam, di sana boleh ikut menenteramkan masyarakat. Bergabung dengan kekacauan ketika batin masih kacau, hanya akan memperpanjang daftar penderitaan yang sudah panjang.
Untuk itu, prihatin dengan nasib negeri ini tentu baik, geram sama koruptor lengkap dengan mafianya adalah pertanda masih menyalanya berlian kebajikan. Namun menerangi diri dengan kesadaran bahwa semua mau bahagia, tidak ada yang mau menderita, itulah yang dilakukan para bijaksana. Sekaligus itu juga tempat berlindungnya para bijaksana.
Benci pada ketidakadilan dan kesewenang-wenangan adalah cermin masih bercahayanya nurani seseorang, namun membiarkan kebencian berujung pada anarki, tidak saja membuat nurani redup dalam kegelapan, tapi juga membuat kita menjauh dari kebahagiaan.
Tanpa diterangi cahaya kesadaran seperti ini, setiap langkah akan membuat kita semakin dekat dengan musibah. Seorang ayah di Inggris pernah memberikan perlindungan sejuk menawan ke anak-anaknya. “Nak, jadi apa pun kamu kelak, disebut apa pun kamu kelak, jangan lupa pulang. Pulang ke rumah kita bukan rumah papa. Apa pun sebutan masyarakat, baik atau munafik, engkau tetap anak papa”.
Di tengah kesedihan, kebingungan, kegalauan, kepanasan publik mencari tempat berteduh berupa rasa keadilan, yang bisa berujung pada bara api berupa terancamnya ketahanan nasional kita, mungkin layak merenungkan ulang, untuk kembali ke sifat dasar kita sebagai manusia: basic goodness.
Ketika manusia dibikin, semua orang tua membikin anaknya sambil berpelukan dan berciuman. Makanan dan minuman disediakan oleh alam dengan limpahan kebajikan. Nanti ketika mati, lagi-lagi kita dihantar oleh doa-doa penuh kebajikan. Bila awal, tengah dan akhir kehidupan berisi kebajikan, bukankah sayang sekali kalau manusia lupa hakekat dirinya hanya karena nafsu berlebihan akan kekuasaan?
Gede Prana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar