Kamis, 16 Juni 2011

Setubuh Seribu Mawar


Cerpen Yanusa Nugroho Silakan Simak!
Dimuat di Koran Tempo Silakan Kunjungi Situsnya! 06/12/2011

“Jangan pernah mempercayai kata, sebelum kau mengenali maknanya. Dan jangan pernah menganggap kau bisa memaknainya, sebelum kau mampu merasakannya,” kera tua itu berkata, sambil mengerkah jambu biji merah.

Sekujur tubuhnya ditumbuhi beribu helai perak, sehingga siapa pun di rimba itu akan dengan mudah menyebutnya sebagai kera cahaya.

Sebagian hewan yang mendengar ucapannya terangguk-angguk tak paham. Sebagian yang lain hanya tersenyum dan menganggapnya sebagai bualan makhluk yang pikun dan kesepian.

“Ayo, masuk. Sudah berapa kali ibu bilang, jangan dengarkan ucapan dia,” seekor ular menghardik anak-anaknya, sambil menggiring mereka memasuki lubang.

“Kenapa? Dongeng kera itu bagus-bagus, Bu,” sela yang paling kecil agak merajuk.

“Kau tahu, dia lebih tua daripada usianya sendiri. Itu sebabnya pikirannya jadi kacau dan bicaranya meracau.”

“Tapi…,” si kecil hendak bersikeras, tapi si ular sudah terlanjur menggelandangnya masuk liang.

“Hmm. Aku ingat, sepertinya kau mengulangi kata-kata seseorang?” terdengar suara si gajah yang sejak tadi berendam di sungai dekat batang jambu biji itu tumbuh.

“Hahahaha. Kau memang layak dijadikan lambang ilmu pengetahuan. Daya ingatanmu sangat besar. Benar, Kawan. Aku hanya mengulangi sebuah ucapan yang ditulis entah oleh siapa.”

“Jadi kau bisa baca tulis?” celetuk seekor ulat bulu.

Si kera tak menjawabnya, asyik menikmati jambu biji yang kelihatannya manis itu. Beberapa kera kecil menelan ludah, mencoba membayangkan kesegaran itu menyegarkan kerongkongan mereka. Burung-burung kecil mencoba mencari-cari kesempatan untuk mematuk satu atau dua remah kecil yang tersangkut di bulu sekitar mulut si kera cahaya.

“Begini,” sambungnya tiba-tiba setelah menelan gigitan terakhir buah jambunya, “sebuah anak panah hanya akan menjadi anak panah jika pertama-tama kau merasakannya sebagai anak panah. Namun jika kau merasakannya sebagai mawar, misalnya, dia pun akan menjadi mawar seutuhnya.”

Hutan senyap seketika. Angin seperti beku mendadak. Aliran air di sungai seperti berhenti. Batu-batu seperti makin mengeras. Langit seperti menganga. Burung-burung seperti hendak jatuh, karena sesaat lupa mengepakkan sayap. Tapi itu hanya sesaat. Sesaat kemudian yang terjadi adalah sebuah ledakan besar.

Ledakan gelak tawa luar biasa. Air berjingkrak kegelian. Gajah tersedak air yang tiba-tiba melonjak memasuki lorong belalainya. Batu-batu menggelinding dan saling membenturkan diri ke batu yang lain. Langit terlalu terang karena matahari seperti melorot begitu saja ke bumi. Burung-burung mengepakkan sayap kembali.

Kera tua itu menjadi bahan olokolok seluruh dunia. Ucapannya yang sebetulnya lahir dari kesungguhannya, ternyata hanya membuahkan gelak tawa penghinaan. Tetapi dia sudah tua dan paham benar muara setiap persoalan. Karenanya, dia tenang-tenang belaka, pura-pura mencari kutu, itu pun kalau masih ada kutu yang mau melekat di tubuhnya.

“Jadi,” kata si kuda betina, sambil menahan tawa, “kalau si kambing jantan ingin menunggangiku, aku harus merasakannya sebagai si banteng, dan jadilah dia banteng, begitu maksudmu?”

Gelak tawa kian menggila. Si kambing memelototi siapa saja, terutama si kuda betina yang kian liar menggoyangkan pantatnya.

“Kambing tetaplah kambing. Mana bisa jadi sebesar banteng?” Gelak tawa makin membahana.

Hutan rimba riuh gaduh. Hanya keheningan yang menelusupi hati si kera cahaya. Dia memilih pergi, mencari danau kesenyapan. Barangkali saja di sana tak ada sebisik pun suara yang tak berguna. Diam-diam si gajah mengikutinya. Dan itu membuat si kera tersenyum.

Dia tahu, gajah adalah makhluk pendiam dan pencatat peristiwa paling cermat. Daya ingatnya yang tak tertandingi makhluk apapun di dunia ini, membuatnya memilih menjadi batu bergerak yang seringkali diabaikan. Apapun yang tergores di benaknya, akan abadi di sana.

“Apakah yang kau maksudkan tadi adalah kisah kematian seorang brahmana sakti itu?” bisiknya di sela langkahnya yang berat.

Kera cahaya melompat ke punggungnya, dan sambil tiduran dia pun membenarkan pertanyaan si gajah.

Konon, demikian si gajah mulai mengurai kisahnya, brahmana ini memiliki 105 orang cucu. Padahal dia sendiri tak pernah merasakan kelamin perempuan. Keturunan itu dia peroleh bukan melalui persetubuhan, tetapi melalui daya cipta yang kuat. Kekuatan daya ciptanya memancar dan bersemi di rahim tiga perempuan suci.

Tapi kisah yang baru sepotong itu sudah dipangkas oleh bantahan si kera bahwa bukanlah brahmana itu yang memiliki cucu, tetapi saudara sesusunya. Dengan demikian anak dan cucu saudara sesusunya itu adalah juga keturunan si brahmana.

“Yang aku katakan tadi adalah apa yang kuketahui, bukan apa yang sebaiknya kuketahui, Monyet,” ucapnya tenang. Si kera cahaya hanya tertawa girang.

“Lanjutkan.”

“Begitulah, waktu berjalan sebagaimana seharusnya dan nasib membentuk sendiri kisah-kisahnya. Keseratus lima orang cucunya berselisih. Lima melawan seratus, memperebutkan sebentang kerajaan. Si brahmana sedih. Dia merasa gagal menjadi manusia karena seharusnya manusia adalah sumber ketenteraman di muka bumi, bukan sebaliknya.”

“Tapi bukankah dia memilih memihak pada yang seratus? Bukan pada yang lima?”

“Benar. Apa salahnya dengan itu?” sahut si gajah tenang.

“Artinya, percuma saja dia sedih oleh selisih dan tikai jika pada akhirnya dia menjalani juga apa yang tak diinginkannya?”

“Dan seingatku, bukankah kau ada di sana waktu itu, Monyet?” Si kera cahaya hanya tertawa kecut, dia senang memancing-mancing di mana saja.

Ingatan si kera cahaya melayang ke beberapa ratus bulan silam. Semuanya seperti segulung deluwang panjang yang menggelar kisah-kisah yang lama tersimpan di dunia para makhluk bumi. Kisah-kisah itu berlompatan riang, seperti terbebas dari pengapnya kebodohan. Bersusul-susulan cerita-cerita itu menerjang kenangan si kera cahaya. Namun semuanya hanya seperti penari cantik yang hanya menggoda mata dengan helai tipis penutup tubuhnya. Tak boleh ada yang menjamahnya dan tak mungkin pula ia terjamah, hanya mata belaka yang boleh berzinah.

Satu kisah tiba-tiba diam bersimpuh di mata batin si kera. Kisah paling cantik yang pernah dijumpainya.

Hanya sepenggal percakapan di senja hari, ketika para kalong keluar sarang dan para kerbau pulang kandang. Si kera gemetar.

Itulah senja ketika si kera duduk di sebuah dipan tombak dan anak panah di mana terbaring si brahmana sakti. Keduanya terdiam. Si brahmana menatap langit berlapis tujuh yang mulai gelap menembaga, sementara si kera cahaya memandangi bentangan padang mayat dengan kepulan asap di sana sini.

“Jadi, kehancuran inikah yang kau maksud, wahai orang tua?” si kera bertanya setengah menggumam.

Brahmana tua yang tubuhnya tersangga oleh tombak-tombak dan anak-anak panah itu tersenyum, lalu balik bertanya apa yang dirasakan si kera. Dengan agak jengkel dia pun bertanya apa sesungguhnya maksud si brahmana.

“Biarlah rasa menuntun makna dan makna menuntun kata,” ucapnya semanis madu selembut embun saat subuh hari. “Jika kau merasakan kehancuran, maka kata yang tepat untuk pemandangan ini bagimu adalah kehancuran. Namun aku merasakannya sebagai pencapaian kepada pancamaya.”

Si kera tertegun. Sesaat nafasnya terhenti.

Menurut leluhur para kera, jin dan manusia, demikian kata brahmana itu selanjutnya, pancamaya adalah rahasia ilmu abadi, yang hanya bisa dikupas dengan memadamkan kelima daya inderawi. Dia tak bisa disebut dekat atau jauh, karena kedua kata itu tak mampu menunjukkan keberadaannya yang sejati. Jika mata inderawi yang digunakan untuk melihatnya, maka terbutakanlah mata itu untuk mencapainya. Jika telinga inderawi yang digunakan untuk mendengarnya, maka hanya dengung sepi yang mengumandang.

“Pancamaya?” ulang si kera kala itu dan brahmana tersenyum mengiyakan.

“Lalu apakah lima cucumu itu yang kau maksudkan? Bagaimana dengan yang seratus?”

“Ah, kera buruk rupa dan keras kepala! Semua itu hanya sebuah kata. Kau menyebutnya lima dan seratus karena matamu melihat dan otakmu menghitung. Tinggalkan itu semua, karena hanya akan menipumu ke dalam kemayaan.”

“Ah, bingung aku.”

“Dasar bodoh. Kalau kau tak mau merasa, maka selama dunia ini tergelar, kau akan tetap jadi kera.”

“Apa maksudmu? Aku saja ngeri melihat beribu anak panah menembus tubuhmu, tombak mengoyak lambung dan dadamu, dan kau masih hidup. Apa kau tak merasa sakit? Sederhana saja, bukan? Lantas untuk apa semua kengerian ini sementara kau sekarat tak mati-mati?”

“Dengarkan baik-baik, monyet jelek. Demi melihat kebenaran aku bersedia mematikan seratus rasaku. Demi menyibak pancamaya, aku bersedia menghancurkan bukan hanya tubuhku. Apalah artinya usiaku, yang bahkan tak pernah kumiliki? Apalah artinya setiap nafasku, yang juga tak pernah kukuasai? Dan jika hidup ini saja rela kuhancurkan demi munculnya pancamaya, maka apalah arti seribu anak panah dan tombak yang hanya mengoyak tubuh rentaku? Dan rasakan dengan cermat apakah benar yang mengoyak tubuhku ini anak-anak panah? Apakah tak kau saksikan sebetulnya tubuhku ini adalah sebidang taman bermawar merah yang membukit, beribu mawar yang membuncah dengan suburnya dan mengharum ke angkasa raya?”

Seketika si kera jatuh dari punggung gajah. Si gajah hanya tersenyum karena dia pun mengikuti ingatan si kera. Dengan diam-diam tentu saja. Itu sebabnya gajah tak bertanya mengapa.

Sedikit merasakan sakit, si kera buru-buru memanjat punggung gajah kembali dan menikmati keheningan.

“Kira-kira, apakah dia sudah mencapai pancamaya?”

“Mungkin? Kita tak pernah tahu. Mungkin saja dia masih minum-minum bersama Attar si pengharum itu, bertukar jawab tentang sebuah nama yang tak satu pun lidah makhluk bahkan mampu melafalkannya dengan benar.”

Kera cahaya, memerak putih bulu-bulunya, terdiam. Dia merasa sudah saatnya dia menempuh jalan rasa, mematikan jalan kasat mata, menghidupkan pancamaya. Bersama si gajah, kera cahaya itu berjalan menapaki jalan rasa sehingga matahari menuntunnya sampai ke batas antara langit dan bumi maya. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar