Selasa, 16 Oktober 2012

LEDA

Tempo Interaktif Senin, 17 September 2012


—Mengenang Putri, 16 tahun, yang bunuh diri setelah dituduh sebagai pelacur oleh polisi syariah di Langsa, Aceh.



Gebrak itu mendadak: angsa besar itu, dengan sayapnya yang menggeletar, meraba paha perempuan itu. Ia tersengal. Tengkuknya tercengkeram cakar, dadanya tertindih dada….


A sudden blow: the great wings beating still
Above the staggering girl, her thighs caressed
By the dark webs, her nape caught in his bill,
He holds her helpless breast upon his breast.


Kisah Leda yang diperkosa angsa yang misterius itu beredar sejak orang Eropa menemukannya dalam mithologi Yunani Kuno. Dari masa ke masa, yang erotis, brutal, dan mengejutkan dalam dongeng ini tak henti-hentinya merangsang para pelukis dan penyair. Dengan itu mereka membangun pelbagai imajinasi, dalam ekspresi yang terkadang halus terkadang kasar, terkadang dalam dan tak jarang hanya dangkal.


Tapi baru di abad ke-20, di abad yang memberontak itu, cerita pemerkosaan ini begitu mencekam. Terutama ketika W.B. Yeats, penyair nasionalis Irlandia itu, menuliskannya dalam sebuah soneta yang saya petik sebait: seluruhnya adalah 14 baris yang mempesona dengan ritme awal yang mengentak.


Dalam sajak itu Yeats merasa tak perlu menyebutkan bahwa angsa itu adalah Zeus yang menyamar. Ia menganggap para pembacanya tahu cerita Yunani itu, juga tahu bahwa sang mahadewa yang memimpin Kahyangan adalah kekuatan yang tanpa belas hati: ia bernafsu, ia berkuasa, ia ada. Siapa pun namanya, selama ia hanya tampil dalam kekuasaan semata-mata, kita tak bisa mengharapkan keadilan.


Yeats juga tak menyebut nama Leda. Mungkin ia hendak menegaskan bahwa yang digambarkannya bukan hanya nasib istri Raja Sparta, Tyndareos. Sajak Yeats hanya melukiskan seseorang yang tiba-tiba terperosok di dalam situasi yang tak bisa dibandingkan dan tak bisa berulang. Justru dalam keadaan itulah ia mengetuk hati orang di mana saja, kapan saja. Ia universal.


Adapun sajak itu ditulis Yeats di sekitar tahun-tahun pergulatan orang Irlandia untuk memerdekakan diri dari penjajahan Inggris. Tak mengherankan bila perempuan yang disetu­buhi Zeus itu ditafsirkan sebagai lambang si tertindas yang semula terbungkam. Kisahnya sebuah sejarah politik: dari satu keadaan yang brutal dan represif lahirlah kekerasan baru. Khususnya, kekerasan sebuah bangsa oleh bangsa lain dan tragedi yang terjadi selama dan setelah itu.


Mithologi Yunani itu memang mengisahkan, karena perbuatan Zeus itu Leda melahirkan Helena, perempuan yang menyebabkan berkecamuknya Perang Troya selama 10 tahun. Di enam-baris terakhir sonetanya Yeats menyebut "tembok yang runtuh, menara-menara yang terbakar" dan Agamemnon yang mati. Dalam syair Iliad, raja yang memenangi Perang Troya itu akhirnya memang dibunuh di rumahnya sendiri—dan berjangkitlah serangkaian pembalasan hingga akhirnya tumpas anak-beranak keluarga Atreus.


Ketika awal abad ke-20 ditinggalkan, tafsir lain datang. Leda dalam sajak Yeats berubah: ia melambangkan sosok perempuan yang digagahi kekuatan patriarki. Zeus, sebagaimana gambaran tentang Tuhan di agama-agama lain, adalah "lelaki". Maka yang dialami adalah penindasan yang menggencet kaum perempuan dari hukum ke hukum, dari lembaga ke lembaga.


Juga ketika semua itu dilakukan seakan-akan tanpa laku sewenang-wenang. Ada cerita bahwa mulanya Zeus menjadikan dirinya seekor angsa yang datang meminta perlindungan. Dalam lukisan Leonardo da Vinci di abad ke-15 memang kita tak melihat kebrutalan itu. Di kanvas yang rapi itu, sang angsa hanya mendekat rapat, merayu Leda yang telanjang di sebuah taman.


Bahwa Zeus menyamar sebagai angsa sebelum melampiaskan nafsunya menunjukkan betapa efektifnya tipu daya dalam hubungan kekuasaan antargender. Para penegak patriarki berkata bahwa mereka memuliakan perempuan ketika mereka sebenarnya memojokkannya. Para ulama di Arab Saudi dan polisi syariah di Aceh akan menegaskan bahwa kaum perempuan harus dijaga dan menjaga diri untuk kepentingan mereka sendiri, tapi pada akhirnya bukan itu yang terjadi.

Pada akhirnya mereka warga yang terus-menerus dicurigai.


Tapi, kata mereka, bukankah perempuan-perempuan itu setuju?


Memang tak mudah menentukan apakah yang terjadi: ketidakberdayaan atau persetujuan. Bahkan Yeats mempertanyakan itu:


How can those terrified vague fingers push
The feathered glory from her loosening thighs?
And how can body, laid in that white rush,
But feel the strange heart beating where it lies?


Bagaimana Leda, dengan jari tangannya yang ketakutan dan nanar menyingkirkan sesuatu yang megah yang berselaputkan lapis-lapis bulu itu, ketika pahanya yang mulai lunglai itu disentuh? Yeats memakai kata glory ketika menggambarkan keperkasaan Zeus sebagai angsa, bukan kata lain yang menunjukkan sesuatu yang nista dan jahat. Ia juga menyebut "detak jantung yang aneh" di badan makhluk yang mendesak itu, bukan deras napas yang buas, yang dirasakan Leda.


Mungkin dalam tiap cakar Zeus ada sesuatu yang mempesona; mungkin dalam tiap pekik kesakitan si korban ada perasaan lain yang intens dan tak terlupakan. Mungkin karena Zeus, juga tuhan-tuhan yang lain, selamanya ambigu: padanya ada keganasan dan kecemburuan, tapi juga keagungan dan keakraban. Sebab itu kisah Leda dan Angsa bisa dinyatakan seperti dalam lukisan Leonardo da Vinci itu: sebuah suasana intim dan sensual, bukan keganasan.


Tapi bagaimanapun, menurut dongeng Yunani Kuno itu akhirnya Leda bunuh diri. Ia telah digagahi. Dan ia telah dibuat merasa berdosa. Dan itulah yang tak dikatakan Yeats: ketidakadilan telah terjadi.

Goenawan Mohamad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar