Senin, 06 Juni 2011

Positif


Samuel Mulia

Saya punya seorang teman. Wanita muda. Seorang yang selalu memiliki kemampuan untuk berkonsentrasi pada sesuatu yang ingin dilakukannya. Mungkin kekuatan konsentrasi itu yang membuat ia tak pernah membiarkan, atau paling tidak meminimalkan hal-hal negatif, untuk memporakporandakan rencananya. Baik negatif yang datang dari luar atau dari dalam dirinya.

Lost

Minggu lalu kami berlibur bersama. Tiba di lobi hotel tempat kami menginap, ia bertanya, apakah saya punya uang kecil untuk diberikan kepada petugas yang sudah berumur dan menganggkat koper kami yang banyak dan berat itu. Saya katakan tidak. Kemudian ia berjalan ke meja concierge untuk menukar uang. Ia mendapatkan apa yang ia inginkan.

Setelah kejadian itu, kami menyetop taksi untuk pergi ke sebuah tempat penjualan es krim. Ia masuk ke dalam taksi, menyapa sopir taksi dengan suara kegembiraan yang sama ketika ia menyapa teman-temannya. Dan berakhir mengobrol dengan pak sopir taksi dari soal anak sampai tempat bakmi paling enak di kota itu.

Saya berpikir negatif. Mengapa saya mesti mengobrol? Ya kalau si sopir merasa mau mengobrol. Bagaimana bila saya dicuekin? Mengesalkan bukan? Dan kalau akhirnya mengobrol dan si sopir menjadi bawel banget, malah jadi bumerang bagi saya.

Di hari pertama, saat kami mendarat di lapangan terbang, salah satu barang bawaannya tidak ditemukan alias raib. Anda pikir ia panik? Berteriak-teriak menyalahkan orang? Sama sekali tidak. Ia mendatangi petugas bandara, berakhir berhadapan dengan petugas lost and found, yang wajahnya saja seperti manusia yang benar-benar hilang dan perlu ditemukan.

Tanpa tersenyum, petugas itu mewawancari teman saya dan mengisi formulir yang salah. Seharusnya formulir kehilangan, ia menulis di formulir barang rusak. Dalam hati saya berpikir, mungkin karena sudah lama bertugas di departemen kehilangan dan belum tentu ditemukan, ia benar-benar sudah tak sensitif lagi melihat bedanya barang hilang dan barang rusak.

Saya takut, jangan-jangan isi kepalanya juga sudah rusak dan hilang gara-gara pekerjaan itu. Bukankah katanya lingkungan kerja itu bisa sangat mempengaruhi seseorang? Setelah selesai mengurus semuanya, teman saya yang kehilangan barang bernilai ribuan dollar itu bergumam. "Besok pasti ada." Dan kami melangkah keluar mencari taksi untuk memulai liburan tanpa wajah bersungut dan hati yang kesal.


Found

Melihat beberapa kejadian selama liburan itu, saya geleng kepala. Dan satu hari sebelum berakhirnya liburan itu, saya bertanya kepadanya, mengapa ia bisa melakukan seperti tak ada masalah. "Ya masalahlah. Tapi hidup itu memang begitu, bukan? Mau diapain lagi? Setelah ada senang ada susah, setelah susah ada senang. Dijalanin aja.Elu tuh yang kebanyakan mikir negatif. Elu tuh terlalu jaim," katanya.

Teman saya itu benar. Saya itu terlalu jaim untuk menerima kekalahan, terlalu jaim untuk merasa memang salah. Jadi, selalu berusaha keras untuk benar di depan orang lain. Itu mengapa langkah saya terhenti untuk pergi ke concierge menukar uang. Saya takut kalau orang lain melihat saya salah karena tidak menukar uang di tempat yang semestinya. Saya takut kalau saya ditolak. Saya takut dilecehkan. Saya takut dianggap bodoh.

Saya susah sekali menjadi apa adanya. Itu mengapa saya tidak mengobrol atau memancing mengobrol dengan si sopir taksi. Pikiran negatif sudah menguasai isi kepala. Saya tak bisa berpikir kalau pada akhirnya itu menjadi bumerang, yaa...saya tiggal bilang saja sama sopir taksinya kalau saya merasa terganggu dengan obrolannya.

Sejujurnya saya iri dengan teman saya itu karena dari obrolannya, dari keputusannya untuk tidak membiarkan hal negatif mengganggunya, ia tahu alamat tempat bakmi, ia mendapat uang receh seperti yang diharapkannya.

Beberapa hari belakangan, saya menerima dua komentar yang membuat saya tersinggung sekali. Sampai tak bisa tidur. Maka saya mencoba rahasia teman saya itu untuk berkonsentrasi dengan tidak membiarkan yang negatif menyerang saya. Tidak berhasil sama sekali. Perhatikan apa yang saya tulis. Tidak berhasil. Saya tidak menulis belum berhasil. Anda tahu bedanya bukan? Anda tahu betapa negatifnya saya. Memilih kata atau kalimat saja, aromanya sangat negatif.

Saya itu keseringan berpikir negatif, bahkan sebelum sebuah aksi dilakukan. Itu mengapa setiap kali saya melewati petugas imigrasi di bandara mana pun di tujuan wisata yang saya tuju, saya pasti "tertangkap" untuk digeledah.

Kenegatifan itu secara kongkret diwujudkan melalui getar yang tak terlihat pada lingkungan di sekitar kita. Karena kepala berpikir negatif, maka aksinya negatif. Maka benarlah kalau ada yang mengatakan, semua terjadi seperti apa yang diayakini. Saya yakin tertangkap, maka saya tertangkap. Teman saya berbeda. Ia yakin barang hilangnya akan datang esok hari, maka benar terjadi keesokan harinya ia menerima apa yang diyakininya itu.

Sumber : Koran Kompas Cetak, Minggu 29 Mei 2011     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar