Samuel Mulia
Beberapa waktu lalu, saya melihat beberapa foto seorang teman yang hadir disebuah acara kumpul-kumpul anak-anak penderita autis bersama keluarga mereka. Foto yang indah, begitu rukun dan menyentuh hati. Saya bisa merasakan kehangatan meski hanya melalui beberapa foto itu. Pelukan keluarga yang seperti sebuah penompang bahwa hidup ini tidak perlu ditakuti. Selalu saja ada cinta yang menolong dan yang memberikan rasa aman.
Setelah melihat foto itu, saya teringat pada masa kecil sebagai anak yang dikatai oleh masyarakat sebagai laki-laki yang keperempuanan. Tentu dimasa itu, seingat saya, tak ada kumpul-kumpul keluarga dengan anaknya yang banci. Saya sendiri tidak pernah bertany apada ibu saya atau ayah, apakah mereka sekaget itu kalau anak yang dilahirkan itu seorang pria berjalan melenggang.
Saya percaya ketika ibu saya hamil, ia tak mendapat masukan sesama ibu yang sudah terlebih dahulu melahirkan, termasuk suaminya yang dokter, sebuah tips mengasuh anak laki yang keperempuanan. Dan sampai sekarang saya pernah membaca buku petunjuk soal mengasuh anak yang tumbuh gemulai. Bisa jadi, saya tak membaca buku berbahasa asing dan kurang banyak keluar masuk toko buku.
Sebagai manusia yang penuh iri hati, saya mulai membandingkan mengapa saya tak punya acara kumpul-kumpul seperti foto yang saya lihat diatas? Kok keberadaan saya itu malah dihina, ditertawai. Sepertinya susah sekali untuk dapat merasakan kehangatan tangan yang melindungi dan cinta yang menompang.
Selain tak menanyakan ayah dan ibu apakah mereka kaget, saya juga tak menanyakan apakah mereka malu punya anak seperti saya. Pertanyaan ini datang karena beberapa orangtua dari teman-teman saya merasa malu memiliki anak lelakinya yang gemulai. Teman-teman saya yang pantasnya menari dengan lincah, berakting bak Hercules setiap kali pulang ke rumah orangtua.
Di masa remaja, saya tak mengerti mengapa ayah ngotot mengajarkan saya soal mesin mobil, termasuk memaksa naik gunung yang membuat saya tersiksa setengah mati. Belum lagi di sekolah aktivitas kaum pria mau tak mau harus ditaati. Bermain sepak bola adalah satu diantaranya.
Mungkin ayah tak bermaksud untuk mempriakan saya, tetapi karena manusia itu harus tahu semuanya. Naik gunung dianggap melatih mental sebagai bekal menjalani hidup dan tak mudah menyerah meskipun gunung yang saya jalani jauh lebih berliku, curam dan sangat tajam, yang wujudnya berupa cacian dari manusia yang merasa lebih benar dari saya.
Jangan Melecehkan
Saya pernah memberi saran kepada seseorang untuk menanyakan langsung kepada yang menciptakan saya daripada setiap kali ia menjadi blingsatan dan menanyakan mengapa saya menjadi seperti ini. Saya ini cuma yang diciptakan, ya...saya manut wae.
Saya berpikirnya sederhana. Keberadaan saya hanya menggambarkan bagaimana Sang Pencipta itu pantas disebut Maha. Ia bisa mencipta segala rupa. Saya tidak tahu apakah Maha itu dibatasi dengan tidak menciptakan hal yang dikategorikan buruk, oleh mereka yang menganggap dirinya tidak buruk? Benarkah keadaan buta, tuli, atau manusia yang lahirnya tidak cantik dan tidak tampan bukan pekerjaan Sang Maha Kuasa? Bukankah katanya kerap kali keadaan buruk merupakan sebuah latihan mematangkan jiwa dan melatih kepasrahan?
Kalau keadaan buruk seperti keadaan baik adalah mahakarya Sang Maha, mengapa manusia yang mengganggap dirinya tidak buruk, melecehkan yang buruk dan mengelompokkan kondisi itu dalam sebutan buruk, memalukan atau sebuah kekeliruan? Bukankah kalau melecehkan yang katanya buruk itu sama dengan melecehkan Sang Pencipta?
Saya tak berniat melecehkan mereka yang katanya pria tulen.
Melihat yang katanya tulen itu, buat saya melihat kehebatan Tuhan sebagai Pencipta yang sempurna, bukan sebuah keadaan yang memalukan untuk dilecehkan. Saya tak pernah mengkategorikan mereka sebuah ciptaan yang keliru.
Saya rindu punya acara kumpul-kunpul keluarga dengan anaknya yang gemulai. Bukan untuk dikasihani, bukan juga untuk show off, bukan untuk apa-apa, hanya mennjukkan dan menerima bahwa Tuhan itu Sang Pencipta yang Sempurna. Kalau sudah bisa menerima, semuanya kan menjadi lebih ringan sehingga malu itu tak perlu ada lagi. Baik orang tuanya dan anaknya.
Maka yang terpenting, hidup itu harus dijalani dengan tangan yang merangkul, bukan yang menuding. Bukankah Anda dan saya tahu, apa yang dianggap baik dan benar menurut manusia belum tentu demikian adanya untuk Sang Pencipta?
Sumber : Kompas Cetak, Minggu 24 April 2011
Beberapa waktu lalu, saya melihat beberapa foto seorang teman yang hadir disebuah acara kumpul-kumpul anak-anak penderita autis bersama keluarga mereka. Foto yang indah, begitu rukun dan menyentuh hati. Saya bisa merasakan kehangatan meski hanya melalui beberapa foto itu. Pelukan keluarga yang seperti sebuah penompang bahwa hidup ini tidak perlu ditakuti. Selalu saja ada cinta yang menolong dan yang memberikan rasa aman.
Setelah melihat foto itu, saya teringat pada masa kecil sebagai anak yang dikatai oleh masyarakat sebagai laki-laki yang keperempuanan. Tentu dimasa itu, seingat saya, tak ada kumpul-kumpul keluarga dengan anaknya yang banci. Saya sendiri tidak pernah bertany apada ibu saya atau ayah, apakah mereka sekaget itu kalau anak yang dilahirkan itu seorang pria berjalan melenggang.
Saya percaya ketika ibu saya hamil, ia tak mendapat masukan sesama ibu yang sudah terlebih dahulu melahirkan, termasuk suaminya yang dokter, sebuah tips mengasuh anak laki yang keperempuanan. Dan sampai sekarang saya pernah membaca buku petunjuk soal mengasuh anak yang tumbuh gemulai. Bisa jadi, saya tak membaca buku berbahasa asing dan kurang banyak keluar masuk toko buku.
Sebagai manusia yang penuh iri hati, saya mulai membandingkan mengapa saya tak punya acara kumpul-kumpul seperti foto yang saya lihat diatas? Kok keberadaan saya itu malah dihina, ditertawai. Sepertinya susah sekali untuk dapat merasakan kehangatan tangan yang melindungi dan cinta yang menompang.
Selain tak menanyakan ayah dan ibu apakah mereka kaget, saya juga tak menanyakan apakah mereka malu punya anak seperti saya. Pertanyaan ini datang karena beberapa orangtua dari teman-teman saya merasa malu memiliki anak lelakinya yang gemulai. Teman-teman saya yang pantasnya menari dengan lincah, berakting bak Hercules setiap kali pulang ke rumah orangtua.
Di masa remaja, saya tak mengerti mengapa ayah ngotot mengajarkan saya soal mesin mobil, termasuk memaksa naik gunung yang membuat saya tersiksa setengah mati. Belum lagi di sekolah aktivitas kaum pria mau tak mau harus ditaati. Bermain sepak bola adalah satu diantaranya.
Mungkin ayah tak bermaksud untuk mempriakan saya, tetapi karena manusia itu harus tahu semuanya. Naik gunung dianggap melatih mental sebagai bekal menjalani hidup dan tak mudah menyerah meskipun gunung yang saya jalani jauh lebih berliku, curam dan sangat tajam, yang wujudnya berupa cacian dari manusia yang merasa lebih benar dari saya.
Jangan Melecehkan
Saya pernah memberi saran kepada seseorang untuk menanyakan langsung kepada yang menciptakan saya daripada setiap kali ia menjadi blingsatan dan menanyakan mengapa saya menjadi seperti ini. Saya ini cuma yang diciptakan, ya...saya manut wae.
Saya berpikirnya sederhana. Keberadaan saya hanya menggambarkan bagaimana Sang Pencipta itu pantas disebut Maha. Ia bisa mencipta segala rupa. Saya tidak tahu apakah Maha itu dibatasi dengan tidak menciptakan hal yang dikategorikan buruk, oleh mereka yang menganggap dirinya tidak buruk? Benarkah keadaan buta, tuli, atau manusia yang lahirnya tidak cantik dan tidak tampan bukan pekerjaan Sang Maha Kuasa? Bukankah katanya kerap kali keadaan buruk merupakan sebuah latihan mematangkan jiwa dan melatih kepasrahan?
Kalau keadaan buruk seperti keadaan baik adalah mahakarya Sang Maha, mengapa manusia yang mengganggap dirinya tidak buruk, melecehkan yang buruk dan mengelompokkan kondisi itu dalam sebutan buruk, memalukan atau sebuah kekeliruan? Bukankah kalau melecehkan yang katanya buruk itu sama dengan melecehkan Sang Pencipta?
Saya tak berniat melecehkan mereka yang katanya pria tulen.
Melihat yang katanya tulen itu, buat saya melihat kehebatan Tuhan sebagai Pencipta yang sempurna, bukan sebuah keadaan yang memalukan untuk dilecehkan. Saya tak pernah mengkategorikan mereka sebuah ciptaan yang keliru.
Saya rindu punya acara kumpul-kunpul keluarga dengan anaknya yang gemulai. Bukan untuk dikasihani, bukan juga untuk show off, bukan untuk apa-apa, hanya mennjukkan dan menerima bahwa Tuhan itu Sang Pencipta yang Sempurna. Kalau sudah bisa menerima, semuanya kan menjadi lebih ringan sehingga malu itu tak perlu ada lagi. Baik orang tuanya dan anaknya.
Maka yang terpenting, hidup itu harus dijalani dengan tangan yang merangkul, bukan yang menuding. Bukankah Anda dan saya tahu, apa yang dianggap baik dan benar menurut manusia belum tentu demikian adanya untuk Sang Pencipta?
Sumber : Kompas Cetak, Minggu 24 April 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar