Wanita yang duduk di sebelah saya sampai terangkat dari tempat duduknya dan masih bisa memegang lengan lelaki di sebelahnya yang saya tak ketahui apakah suami, selingkuhannya, atau baru pacaran. Yang jelas, ia memiliki tangan yang diraihnya, sementara saya hanya memegang lengan kursi yang keras.
Saat pesawat tinggal landas dan menembus awan pekat yang putih dengan langitnya yang biru, pesawat mulai bergetar dan bergemuruh dan terjadi seperti cerita saya di atas. Di saat itu saya berpikir ini akhir kisah hidup saya, jatuh melayang dari langit ke tujuh, sementara yang saya tahu selama ini disuruh menggantungkan cita-cita setinggi langit, dan tak pernah terlintas sekali pun terjun bebas dari langit nan tinggi itu yang dijadikan benchmark meraih cita-cita.
Di situasi kritis itu, saya hanya komat-kamit sebentar meminta maaf kepada Sang Khalik agar Ia mau memaafkan saya atas semua dosa-dosa saya. Sejuta dosa yang saya perbuat yang lebih banyak disengajanya daripada tak disengaja. Dosa yang nyaris itu-itu saja, yang tak pernah membuat saya naik kelas. Setelah doa singkat itu, saya menatap ke luar jendela dengan perasaan yang lega, ketakutan di awal tadi hilang lenyap karena saya pikir mau teriak-teriak atau mau menjadi takut tak ada gunanya lagi. Di saat itulah rasa takut itu lenyap.
Takut itu adalah sebuah keadaan tidak mau menerima keadaan yang sesungguhnya. Maka, setelah saya mau tidak mau menerima bahwa pesawat terguncang-guncang dan memiliki kemungkinan jebol di tengah jalan dan saya tewas, maka di saat itulah keadaan bernama pasrah itu timbul. Jadi, pasrah pun adalah sebuah action yang aktif, yang timbul setelah menghadapi rasa ketakutan itu.
Kemudian teringatlah saya saat ayah meninggal dunia. Saya tak bisa menangis, sementara kakak perempuan saya menangis seperti kucing garong. Kemudian saya bertanya, mengapa ia menangis? Ia menjawab karena ia masih membutuhkan seorang ayah. Pertanyaan timbul lagi di hati saya, sampai kapan seseorang membutuhkan orangtua dan siap berdiri di kakinya sendiri? Mengapa rasa kehilangan ditangisi?
Pada masa empat tahun lalu itu, saya diam saja. Saya tak mengerti bahwa saya tidak bisa menangis itu karena, tanpa saya sadari, saya menerima bahwa manusia itu harus meninggal, termasuk ayah saya. Saya dinasihati oleh banyak orang, kalau dalam setiap aktivitas, persiapan itu harus dilakukan.
Maka, saya siap menerima keadaan takut, meninggal, disakiti, dikhianati, dibuang dari daftar tamu berpredikat VIP atau dilecehkan sekali pun. Dahulu saya tersakiti karena tak memiliki persiapan jiwa yang menerima keadaan itu.
Saya ini perenang. Dulu, saya selalu enggan masuk ke kolam renang. Selalu dimulai dengan mencelupkan tangan saya untuk merasakan air kolam. Kalau dingin, saya memutuskan untuk tidak melanjutkan aktivitas olahraga itu. Sekarang saya baru tahu mengapa saya mencelupkan tangan ke dalam kolam terlebih dahulu? Karena saya tak mau merasakan pengalaman dingin itu. Saya menghindarinya.
Sekarang saya masih berenang setiap pagi, tetapi tak ada lagi kegiatan tangan yang mencelup ke kolam renang. Saya hanya masuk dan merasakan dinginnya air itu. Saya tak menghindari, saya menghadapinya. Lama-lama rasa dingin itu hilang dari jiwa saya. Secara badaniah saya merasakan dinginnya.
Jiwa yang menerima rasa dingin itulah yang membuat saya tetap di kolam renang dan menyelesaikan tugas olahraga itu. Jiwa yang menerima guncangan pesawat yang mampu membuat seluruh penumpang menjerit itulah yang membuat saya tak berdoa agar Tuhan membebaskan saya dari keadaan negatif itu.
Di saat itulah saya merasakan orang itu kalau sudah siap meninggalkan yang fana menjadi begitu bebas dan ringannya. Yang fana yang acapkali membuat saya tak pernah siap pulang ke rumah.
Kalau suatu hari ada yang mau membunuh Anda karena mereka tak menyukai eksistensi dan isi kepala Anda, kemudian mereka memutuskan untuk membinasakan dengan cara keji, saya menyarankan Anda untuk merasakan rasa sakitnya.
Karena saya yakinkan kepada Anda bahwa mereka tak memenangkan apa pun karena kalau cuma raga saja yang binasa dan hilang ditelan bumi, mereka toh tak dapat membinasakan Anda dengan pemikiran Anda itu. Dan, kematian Anda akan tetap diingat oleh semua orang, termasuk yang membinasakan Anda. Jadi Anda akan ”hidup” selamanya.
”Elooo tuu ya… sok tahuuu…,” nurani saya berteriak seperti biasa. Kemudian saya tertawa sendiri. Bukankah selama ini saya memang sok tahu? Dan, bukankah begitu menyenangkannya jadi sok tahu setiap minggu, setiap minggu pun saya dibayar karena kesoktahuan itu.
Sumber : Kompas Cetak Minggu, 31 Oktober 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar