Untuk Slamet Gondomono
Aku hanya gombal yang tergeletak di lantai 230 kg namaku.
Nama yang setengahnya terbuat dari air mata dan adzan
subuh. Gombal yang bisa tertawa dan bernyanyi dari hidupku
sendiri. Gombal dari tembang-tembang pesisiran yang
membuatku bisa tertawa bersama Tuhan. Melihat surga dari
orang-orang yang bertanya, kenapa ada gema kesunyian
ketika aku berdiri dan menggapai semua yang buta di
sekitarku, kenapa aku bertanya seperti tidak mengatakan
apapun.
30 hari aku lupa caranya tidur. Dinding-dinding mulai
berbicara, membuat gravitasi terbalik antara tubuhku dan
malam yang tersisa pada jam 11 siang. Seluruh dunia datang
dan berbut masuk ke dalam telingaku. Aku tarik rem kereta
api, berderit, besi berjalan itu berhenti mendadak, berderit,
seperti besi besar membentur stasiun terakhir. Aku
memuntahkan tubuhku bersama dengan suara-suara yang ingin
mendapatkan nama dari kerinduan.
Aku hidup bersama Bisma yang telah berjalan dengan 1000 panah
di pungungnya, kesetian dan kejujuran buta 23.000 kaki di
atas permukaan laut. Kesunyian memukul-mukul 230 kg
berat tubuhku. Istana Jawa yang terbuat dari gamelan,
seorang perempuan menari dengan air susu yang terus
tumpah dari buah dadanya: aku berada antara batu yang akan
dan belum pecah.
Telapak tanganku penuh cairan ludahku sendiri. Satu
mangkuk teh untuk sintren yang tersesat dalam tembangku.
Aku lihat tubuhku di TV seperti sebuah negeri yang
sedang diperkosa rakyatnya sendiri. Gravitasi TV yang
membuat tubuhku jadi 2 meter, sompret, kencing dalam
celana.
Di stasiun terakhir itu, aku mengambar paru-paruku sendiri,
tanah terus mengelupas tak henti-henti mengupas tanah
mengelupas. Hingga aku mencium bau hujan dari wayang
wayang yang bermain sendiri, antara batu yang akan pecah
dan belum pecah, antara tembang yang akan mantra dan
belum mantra, antara keris yang berjatuhan dari kesunyianku
dan belum berjatuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar