Kamis, 14 Oktober 2010

Petaka dan Duka di Wasior

Kamis, 14 Oktober 2010 | 03:31 WIB

Oleh Fadjri Alihar

Bencana demi bencana kembali melanda segenap penjuru Tanah Air dari Sabang ke Merauke. Pada Senin pagi tanggal 4 Oktober 2010, tiba-tiba datang berita duka dari tanah Papua yang mengabarkan telah terjadi banjir bandang yang sangat dahsyat yang menghancurkan hampir seluruh kota Wasior di Kabupaten Teluk Wondama.

Banjir tersebut bagaikan tsunami yang datang secara mendadak dalam kehangatan pagi tanpa memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menyelamatkan diri. Sebagai akibat dari bencana tersebut, tercatat 145 orang meninggal, 116 orang hilang, dan ratusan orang mengalami luka-luka. Bumi Papua menangis, seakan bangsa ini tidak pernah lepas dari bencana.

Rencananya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan berkunjung ke Wasior pada Kamis, 14 Oktober 2010. Ada kesan, pemerintah tidak mau disalahkan atas terjadinya bencana di Wasior. Bahkan, Presiden Yudhoyono mengatakan bahwa bencana banjir bandang di Wasior bukan disebabkan kegiatan pembalakan liar, melainkan lebih disebabkan curah hujan yang sangat tinggi.

Penyebab bencana

Peristiwa bencana di Wasior mengingat kembali bencana banjir bandang yang terjadi beberapa tahun lalu di Bukit Lawang, Bahorok, Sumatera Utara, tahun 2003, dan Kuala Simpang, Aceh Tamiang, tahun 2006. Karakteristik ketiga bencana tersebut sangat mirip, seperti banjir datang sangat mendadak bagaikan tsunami, dengan arus yang sangat kencang, menelan korban jiwa rata-rata di atas 100 orang, menghancurkan berbagai infrastruktur dan permukiman, serta menumpahkan berbagai potongan kayu gelondongan dalam berbagai ukuran.

Memerhatikan karakteristik banjirnya kiranya hampir dapat dipastikan faktor penyebabnya juga sama, yaitu gundulnya hutan dan hilangnya daerah tangkapan air di daerah hulu, apakah karena disebabkan kegiatan HPH ataupun pembalakan liar.

Saat terjadinya banjir bandang di Bahorok, terlihat daerah wisata Bukit Lawang hancur berantakan disapu air bah. Lebih dari 100 orang meninggal dan 200 orang dinyatakan hilang serta menghancurkan berbagai infrastruktur, seperti jalan, rumah, sekolah, dan hotel. Berbagai potongan kayu gelondongan membanjiri daerah wisata Bukit Lawang yang terletak di bantaran Sungai Bahorok. Kayu gelondongan tersebut berasal dari hulu Sungai Bahorok yang terletak di Taman Nasional Gunung Leuser dan kemungkinan besar merupakan hasil pembalakan liar yang belum sempat terangkut.

Kemudian, pada tahun 2006 terjadi lagi bencana banjir yang sangat dahsyat di Aceh Tamiang yang mengakibatkan kota Kuala Simpang lumpuh total. Jalan-jalan utama di Kuala Simpang dipenuhi dengan sisa potongan kayu gelondongan yang berdiameter sampai 2 meter. Banjir tersebut juga mengakibatkan terputusnya jalur transportasi dari Medan menuju Banda Aceh selama seminggu karena jalan-jalan utama tertutup lumpur setebal 1,5 meter. Penyebab utama banjir Tamiang tersebut kiranya juga tidak bisa dilepaskan dengan berbagai kegiatan eksploitasi hutan di hulu Sungai Tamiang yang dilakukan secara besar-besaran.
Setelah menelaah karakteristik banjir di tiga kota tersebut, kemungkinan besar penyebab terjadinya banjir bandang di Wasior diduga erat kaitannya dengan kegiatan eksploitasi hutan yang tidak terkontrol.
Berkaitan dengan pengelolaan hutan, sebenarnya pada 1980 pemerintah telah mengeluarkan surat keputusan bersama tiga menteri yang melarang ekspor kayu bulat (gelondongan) ke luar negeri. Permintaan kayu lapis meningkat, maka kegiatan mengeksploitasi hutan juga meningkat dan bertambah luas serta tak ada beda dengan sebelum keluarnya surat keputusan bersama tiga menteri.

Berkaitan dengan kondisi hutan di Wasior, ternyata diperparah lagi setelah keluarnya izin Menteri Kehutanan pada tahun 1990 yang memberikan HPH kepada beberapa perusahaan untuk pengelolaan hutan di Wasior dan Kabupaten Teluk Wondama. Tidak tertutup kemungkinan rusaknya hutan di sekitar daerah Wasior juga karena kegiatan pembalakan liar, mengingat saat ini sangat sulit mendapatkan izin konsesi HPH.

Warisan kebijakan pemberian konsesi hutan berupa HPH dan kegiatan pembalakan liar telah mengakibatkan hutan di sekitar Wasior menjadi gundul dan hilangnya daerah tangkapan air yang selanjutnya berdampak pada perubahan ekosistem dan perubahan iklim. Seandainya kondisi hutan di sekitar Wasior tidak terganggu, kemungkinan banjir bandang tidak akan terjadi walaupun dengan kondisi curah hujan yang sangat tinggi.

Amburadul

Bencana banjir bandang di Wasior merupakan cermin pengelolaan lingkungan yang amburadul yang dilakukan selama ini. Hutan terus dieksploitasi tanpa mengindahkan kaidah-kaidah lingkungan. Hutan sebagai kesatuan ekosistem tidak utuh lagi dalam meminimalisasi terjadinya bencana, khususnya banjir.

Ada beberapa alternatif solusi yang kiranya harus diambil dalam rangka menghindari atau paling tidak meminimalisasi terjadinya bencana. Pertama, melakukan tindakan tegas dan keras terhadap pelaku pembalakan liar. Kedua, melakukan moratorium kegiatan penebangan hutan untuk jangka waktu tertentu dalam rangka memulihkan ekosistem hutan. Ketiga, melakukan penataan kawasan yang rawan bencana dengan maksud agar pusat-pusat kegiatan dan permukiman seminimal mungkin jauh dari daerah-daerah rawan bencana, seperti bantaran sungai, tepi pantai, dan daerah perbukitan.

Ketiga solusi tersebut harus dijalankan bersama-sama dan saling bersinergi mulai dari hulu hingga hilir. Selama kegiatan tersebut tidak dilakukan dengan penuh kesungguhan, bukan tidak mungkin anak negeri ini akan selalu menangis karena dirundung bencana dari waktu ke waktu. Tiada gunanya lagi bertanya, ”Mengapa di tanahku selalu terjadi bencana.”

Fadjri Alihar Peneliti Bidang Ekologi Manusia Pusat Penelitian Kependudukan LIPI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar