Kamis, 14 Oktober 2010 | 03:35 WIB
Oleh Benny Susetyo
Kenyataannya, situasi sosial ekonomi tidak lebih baik. Terorisme, kekerasan umat beragama, keamanan warga yang rendah, sampai tingkah laku elite yang semakin hari semakin membuat gerah. Situasi perekonomian juga dapat dikatakan tidak mengalami perubahan membaik. Ini semua yang membuat rakyat semakin apatis terhadap kemampuan yang dimiliki jajaran pemerintahan kali ini.
Kepercayaan bahwa kabinet pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono bisa membawa perbaikan ekonomi kian memudar. Alih-alih nasib yang membaik, justru rakyat kecil merasa semakin menderita akibat kebijakan yang seolah-olah berpihak kepada mereka, nyatanya membuat sengsara.
Tanpa visi
Salah satu inti masalah yang bisa dikemukakan adalah arah pembangunan tanpa kejelasan visi untuk siapa. Pembangunan yang memprioritaskan pada angka pertumbuhan ekonomi tanpa disadari sesungguhnya mengulang kesalahan Orde Baru. Pemerataan ekonomi dianggap akan begitu saja terjadi apabila pertumbuhan ekonomi membaik, bahkan sering tanpa kebijakan yang berpihak kepada rakyat kecil.
Dalam hal lingkungan dan kemanusiaan, tragedi lumpur Lapindo merupakan titik puncak dari kegagalan pembangunan yang tidak mengindahkan keberadaan manusia dan lingkungannya. Kasus terakhir adalah bencana banjir bandang Wasior di Papua Barat yang menewaskan lebih dari seratus warga. Tragedi-tragedi ini bisa menjadi contoh utama tentang kegagalan ketika pembangunan hanya berorientasi pada profit dan mengabaikan keberlanjutan lingkungan ataupun aspek kemanusiaan. Seolah kata-kata Stalin menjadi kenyataan di negeri ini, ”Kematian puluhan orang (akibat bencana) boleh jadi adalah tragedi, tetapi jika mereka sudah mencapai ratusan atau ribuan orang, mereka pun menjadi sekadar statistik.”
Sebagai bangsa beradab, rasa ngilu tiada terkira ikut berempati dengan penderitaan para korban pembangunan. Dalam kasus seperti ini, rasanya semua pihak sudah saling sikut, ingin lari dan tidak bertanggung jawab. Kita kehilangan daya empatik. Korban banjir bandang Wasior tak segera dikunjungi petinggi negeri ini. Bencana itu pun seolah sudah dipastikan bukan karena kerusakan lingkungan akibat pembalakan liar. Kehancuran lingkungan bisa saja karena pembalakan resmi yang ngawur!
Ini seharusnya menjadi pelajaran bersama, bahwa seperti inilah muka pembangunan kita sepanjang Indonesia merdeka. Pembangunan pada akhirnya hanya melahirkan deretan angka kemiskinan baru yang sangat menyedihkan. Manusia hanya menjadi obyek. Hati nurani harus takluk pada keserakahan.
Krisis legitimasi
Pembangunan mengalami krisis legitimasi karena meletakkan manusia sebagai obyek. Jurgen Habermas sudah sejak lama mengingatkan kita mengenai hal ini. Dalam kajiannya yang terkemuka mengenai krisis legitimasi, ia dengan jelas menunjukkan, pembangunan yang mengalami krisis legitimasi akan menyebabkan kemacetan sosial yang melahirkan masalah baru.
Pada awalnya manusia merasa bebas ketika alam pikir tradisional dan mitos digantikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ternyata kehadirannya merupakan belenggu itu sendiri dan sering kali menjadikan manusia sebagai korban.
Bangsa ini harus kembali menyadari bahwa berbagai kasus dampak pembangunan belakangan ini adalah segumpal dari gunung es fenomena bisnis yang tidak mengindahkan manusia dalam sosoknya yang utuh. Kita akan menjadi bangsa yang hancur lebur jika tetap bertahan dan merasa benar dengan gaya membangun seperti ini.
Banyak contoh kasus bagaimana pembangunan tidak mencerminkan etika bisnis yang manusiawi. Saat etika bisnis dibuang dari perilaku pelakunya. Bisnis memang harus mencari keuntungan, tetapi keuntungan itu bukanlah kerugian bagi yang lain.
Perencanaan pembangunan ekonomi kita seolah mengabaikan kegagalan paradigma pembangunan ekonomi di masa lalu, masih saja memikirkan pertumbuhan ekonomi semata-mata dari angkanya. Belum terlalu serius dipikirkan bagaimana seharusnya pertumbuhan ekonomi juga secara langsung berdampak pada pemenuhan lapangan kerja dan pemihakan nyata buat usaha kaum kecil.
BENNY SUSETYO Sekretaris Dewan Nasional Setara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar