Senin, 18 Oktober 2010

Pelajaran Berharga


Sudah dua mingu ini Sania tekun didepan televisi. Hampir semua acara dilahap murid kelas II SD itu, tidak peduli ia sekolah pagi atau siang. Tayangan anak menjadi menu sehari-hari, tanpa mempedulikan teguran Ibu.

Ibu kewalahan menegur. Bahkan, sampai memberikan hukuman, uang jajan dipotong setengah, Sania tetap membandel.

Sania bukannya menyadari kesalahan, tetapi malah berbalik marah dan mogok belajar.

Jika ada Ayah di rumah, Sania lebih mudah menurut. Tetapi, Ayah bekerja di luar kota, hanya akhir pekan pulang. Sementara Ibu harus mengurus dua adik kembar yang masih bayi.

Seperti pagi itu, di tengah kesibukan mengganti popok adik, Ibu mengingatkan Sania untuk segera mandi karena masuk sekolah pagi.

"Ayo, Kakak, air hangat sudah ada di kamar mandi!" seru Ibu dari dalam kamar.

"Ya sebentar lagi, Bu!" balas Sania sambil melirik jam dinding.

Pukul enam lewat lima. "Masih ada waktu," pikir Sania.

TELEVISI MASIH menayangkan film kartun kesayangan Sania. semua teman kelas fasih bercerita tentang film itu. Sania tidak mau ketinggalan.

"Kakak, lihat sudah pukul berapa?" Tanya Ibu selang lima menit kemudian.

Uuuh…Ibu! Sebentar lagi, masih seruh, nih. Sania kan bukan anak kecil lagi nanti juga mandi sendiri!” rengek Sania dengan muka cemberut.

Tidak lagi terdengar jawaban Ibu yang sibuk menenangkan salah satu dari si kembar, Vito. Sania merasa aman melanjutkan filmnya.

Aku belum pernah menonton episode ini, pikir Sania. Kemarin Sissy, si bintang kelas, bercerita tentang tokoh kartun yang kini ditonton Sania.

Teman-teman terpukau mendengar tuturannya. Sania ingin bisa bercerita tentang film itu seperti Sissy!

SAAT FILM berakhir, Sania baru sadar telah setengah tujuh! Cepat ia mandi dengan air yang tak hangat lagi.

Dari kamar mandi ia tak menemukan handuknya hingga harus berteriak minta diambilkan. Bibi pembantu tergopoh-gopoh menyodorkan handuk.

Di kamarnya, Sania cepat bersiap-siap. Tetapi semuanya terasa salah. Ikat pinggang entah dimana, sisir kesayangannya tidak ada di meja rias, pensil belum diserut, buku pelajaran Matematika terselip entah dimana.

SEPULUH MENIT lagi pukul tujuh dan Sania belum siap kesekolah. Ia masih marah karena ketidakberesan yang ditemui pagi ini. Bibi pembantu ikut bingung mencari barang yang diperlukan Sania. Sampai akhirnya jam dinding berdentang tepat pukul tujuh pagi.

Sania tersentak, diam seketika. Perlahan air matanya menetes, perasaannya campur aduk.

“Lho, kok malah menangis?” ibu muncul di pintu sambil memandang heran.
“Buku matematika enggak ketemu, Bu…,” isak Sania berlari dan memeluk Ibu. “Kenapa Ibu tidak membantu Kakak?”

“Ibu kira Kakak sudah besar, bukan anak kecil lagi,” sahut Ibu tersenyum. Dengan sigap ibu memeriksa tumpukan buku pelajaran satu per satu, lalu menyodorkan buku yang dicari Sania.

“Kok Ibu bisa menemukannya? Kakak sudah mencarinya di situ tadi,” Sania memasukkan buku ke dalam tas, sambil menatap heran ke Ibu.

“Mencarinya sambil mengerutu, ya? Jadi tidak teliti,” jawab ibu sambil memencet hidung Sania.

“Hari ini enggak usah sekolah ya, Bu?” pinta Sania memelas. “Pintu gerbang pasti sudah ditutup!”

“Mengapa menyerah begitu saja?” tantang Ibu sambil mencari-cari di kolong tempat tidur dan menemukan ikat pinggang Sania yang berdebu.

“Katakan pada guru piket hal yang sebenarnya. Ibu yakin Ibu Guru mengerti dan mengijinkan Kakak masuk ke sekolah asal Kakak berjanji tidak terlambat lagi.”

Dengan tenang Ibu memeriksa kasur dan menunjukkan sisir kesayangan Sania di balik bantal.

“Rasanya leih mudah kalau izin tidak masuk saja, sudah lama terlambat sekolah,” gumam Sania yang masih ragu-ragu, sambil menyisir rambutnya.

“Mungkin Kakak sudah terlambat, tetapi itu lebih baik daripada memboloskan?” Ibu tersenyum bijak. “Jangan lupa sarapan dulu. Nanti Ibu antar ke sekolah. Tetapi Kakak sendiri yang harus menjelaskan kepada guru.”

SANIA MASIH mematung di depan cermin. Ditatapnya, bayangandi depannya, gadis kecil dengan seragam SD. Perlahan senyumnya mengembang.

“Tuh liat, anak Ibu tumbuh semakin besar, makin pintar,” tiba-tiba saja Ibu sudah berdiri di samping Sania, sama-sama menatap cermin. Rupanya Ibu masih memperhatukan tingkah laku Sania.

“Terima kasih, Bu,” Sania memeluk Ibu dengan hangat. “Maafkan Kakak yang sering tidak menurut.”

“Ya, Ibu maafkan. Tetapi, Kakak juga harus berusaha supaya tidak terlambat lagi!” kata Ibu sambil mengangkat alis. “Ibu akan mengantar Kakak ke sekolah!”

SANIA TERSENYUM saying menatap Ibu yang berjalan keluar kamar. Lalu berjalan ke meja rias. Sania menatap penampilannya dan mengangguk pasti di depan cermin.

“Ini pelajaran berharga bagiku. Aku akan berjuang agar tidak mengulangi kesalahanku!” bisiknya yakin.

Trias Tantaka
Penulis Cerita
Tinggal di Serang,
Jawa Barat.

Sumber : Kompas Minggu, 13 Juni 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar