
Cerita ini jauh lebih seru daripada mendengar cerita saya menginap di hotel dekat bandara yang membuat saya tak bisa kemana-mana, meski paling tidak bisa tiduran setelah sekian jam luntang-lantung di lapangan terbang.
Pembeli itu raja? Raja dari mana?
Mengapa beberapa penumpang sampai berteriak, memaki dan ngotot untuk bisa tetap berangkat hari itu? Tentu banyak alasannya. Lebih dari sejuta kalau mau dituliskan. Jengkel? Bisa saya bayangkan!
Tetapi, kejadian itu membuat saya tiba-tiba berpikir soal ungkapan pembeli itu raja. Raja dari manakah saya sampai ngotot, memaki dan berteriak? Benarkah tabiat raja seperti itu? Bukankah tabiat raja itu pada umumnya jadi panutan?
Umumnya? Salah. Sudah pasti jadi panutan. Panutan untuk kejahatan atau kebaikan, maksudnya. Nah, pertanyaannya kemudian raja yang manakah saya? Kalau raja yang mau mengerti rakyat, artinya saya sebagai penumpang mencoba mengerti bahwa kerusakan pesawat mem ang terjadi. Dan, tidak ada seorang di dunia ini yang dengan sengaja merusak pesawat dengan cita-cita dimaki konsumen, bukan? Nah, kalau itu tak sengaja terjadi, tidakkah seorang raja bisa berlaku bijaksana?
Lain lagi kalau rajanya tidak baik. Bisa jadi suara ini yang terdengar. "Yaaa...enggak bisa gitu dong. Jangan sak enaknya saja. Mbok dikasih tahu dari tadi kalau pesawatnya rusak. Jadi, kan enggak usah nunggu sekian jam. Dasar pesawat asem?" Nurani say seperti biasa ikut nimbrung, padahal diajak saja tidak.
Begini katanya, "Pertama, pesawatnya enggak asem. Ini bukan manisan. Mengapa harus nunggu sekian jam, Neng, Cong? Karena mereka berusaha untuk memperbaiki dengan asumsi sekian jam bisa selesai supaya orang kayak elo itu enggak perlu berteriak lagi. Jadi, ada usaha yang dilakukan."
"Itu hak gue ngotot," balas saya lagi. Nurani saya nyamber lagi. "Ngapain elo ngotot, kalau sebelum berangkat tadi elo berdoa supaya yang terjadi hari itu, sesuai yang dikehendaki-Nya?" Nurani say berteriak lagi. "Hai manusia, ngotot itu negatif, bukan tindakan pahlawan. Ngotot itu memaksa, dan bukan pasrah. Tahu pasrah, enggak? Pasrah itu bukan ngotot dan memaki, tetapi bekerja sesuai kehendak Tuhan."
Saya tetap tidak mau kalah. Namanya raja. "Eh...orang itu kadang memang perlu diteriakin, dimaki dan diototin supaya sadar kalau salah."
Menurut loh...
Benarkah demikian? Benarkah memaki dan mengotot itu membuat orang naik kelas dan menyadari kesalahannya? Tidakkah itu malah menjengkelkan orang lain dan hanya memuaskan saya untuk melampiaskan kemarahan? Apakah setelah saya berteriak dan memaki masalah terselesaikan? Kadang tidak, bukan? Malah orang bisa melihat tabiat saya dan bergumam. " Amit-amit, gue enggak kayak Cong yang satu ini."
Nah, kalau ngotot dan kebetulan berhasil, maka tabiat negatif itu dipakai sebagai penilaian kalau seseorang itu hebat. Saya jadi ingat waktu masih meliput peragaan busana ke beberapa pusat mode dunia. Kalau bisa masuk ke peragaan busana desainer kondang tanpa undangan saya dianggap hebat. Jadi, semakin menjadi maling dan tak tertangkap, makin hebatlah penilaian yang saya dapatkan.
Benarkah kata nurani saya, apalah gunanya mengatakan dalam doa terjadilah kehendak Sang Kuasa, tetapi urat leher saya sampai keluar semua? Padahal, pengalaman hidup telah memperlihatkan, kalau Tuhan itu punya begitu banyak rencana indah melalui hal-hal yang begitu menjengkelkan.
Terbuktilah saat saya harus tinggal satu hari lagi, teman saya ngetweet begini bunyinya, "Selamat elo nggak jadi berangkat. Kalau elo mendarat di Jakarta hari itu, macetnya dimana-mana." Ketika siap-siap meninggalkan hotel saya bergumam,"Kalau saya dapat tinggal satu hari lagi lagi, ya?" Anda tahu, keinginan saya terpenuhi melalui peristiwa yang tampaknya tidak menyenangkan itu.
Kadang kerusakan mesin memang perlu, kadang agenda kerja jadi amburadul. Itu diperlukan agar saya bisa mencicipi yang namanya experiencing God, yang salah satu bentuknya adalah penguasaan diri. Teriak dan ngotot itu bukan experiencing God. Itu kehendak saya yang bisa diatasnamakan untuk memberi pelajaran pada seseorang.
Ngotot sambil berteriak, itu salah satu cerminan kalau sejujurnya saya hanya berdoa sebagai sebuah ritual semata, tetapi pada akhirnya yang saya mau adalah yang saya rencanakan. Nah, nanti kalau rencana saya berantakan, dan pesawatnya mau jatuh, buru-buru laporan ke Atas terus minta maaf. Atau malah bersungut-sungut dan menyalahkan Sang Kuasa.
Saya cuma mikir, selamanya Tuhan itu enggak pernah mengirimkan pelangi ke depan pintu rumah dengan tulisan besar, " Menurut loh...?"
Bravo !! Blognya bagus
BalasHapus