Senin, 08 Oktober 2012
Setelah tujuh tahun bersekolah di Eropa, Ibarra pulang ke Filipina, dan di sepanjang Kota Manila ia tak hanya melihat Manila. Di matanya, kebun beragam tumbuhan di kota itu tak putus-putusnya tampak dibayang-bayangi taman-taman yang pernah dikenalnya di Eropa. Ia tak lagi melihat begitu saja; baginya, tamasya itu sesuatu yang dekat dan sekaligus jauh. Seakan-akan ada setan yang memperdayanya dengan jarak dan waktu. Ia resah.
Di saat itu, menjelang akhir abad ke-19 itu, tokoh utama dalam novel Noli me Tángere yang ditulis pahlawan nasional Filipina José Rizal ini merasakan apa yang disebutnya sebagai el demonio de las comparaciones. Dalam buku Benedict Anderson yang cemerlang, The Spectre of Comparisons, momen itu diambil sebagai salah satu contoh awal kesadaran kebangsaan, terutama di Asia Tenggara. Ada yang mengatakan bahwa kesadaran itu tak sekadar tumbuh dari ”mambang”, spectre, tapi dari ”iblis”, demon, atau el demonio. Begitu menggugah, begitu membakar.
Membandingkan memang mengandung dua titik pandang: jauh dan dekat. Dalam keduanya kita menemukan yang sama dan sekaligus beda, universal dan yang partikular. Dalam tafsir saya, permainan tipu daya sang Iblis terletak dalam ”waktu”.
Dua waktu yang berbeda—waktu Ibarra di Berlin dan waktu ia berada di Manila—seakan-akan homogen. Masing-masing seakan-akan tak berisi apa-apa, seperti bujur sangkar yang secara universal dikenal sebagai bentuk yang semua sisinya sama panjang, seperti deretan petak di kertas datar. Anderson memakai istilah ”waktu yang homogen dan kosong”, homogenous empty time.
Tapi tentu saja ”waktu” yang seperti itu sepenuhnya abstrak. Sementara itu ”waktu” yang kita alami sehari-hari, juga yang dialami Ibarra, adalah ”waktu fenomenologis”: mengalir terus tapi sekaligus bersentuhan dengan tubuh dan ruang, dan di dalam semua itu ada emosi, suasana hati. Ia bergerak dalam proses, tapi tak seluruhnya terbangun sebagai keragaman yang murni. Detik ini tak mengulangi detik sebelumnya dan tak akan diulangi oleh yang sesudahnya, tapi semua itu dipertemukan di sebuah ”kosmos”.
Sebab itulah yang terjadi dalam pengalaman Ibarra itu menyakitkan: Manila yang begitu miskin, bila dijajarkan dengan Berlin, meskipun kedua-duanya punya taman kota, adalah Manila tempat ia berdiri, punya masa silam, merasa sebagai seseorang yang tak seluruhnya cair seperti tinta yang belum membentuk sebuah gambar.
Kini, hampir satu setengah abad setelah Ibarra kembali ke Manila, perbandingan dari satu tempat ke tempat lain makin cepat, makin beragam. Inilah di zaman ketika surat kabar dan semua produk ”kapitalisme cetak” mulai menurun pengaruhnya. Televisi, atau informasi audiovisual yang lain, kian menghubungkan satu kejadian di sebuah tempat pada saat yang sama dengan kejadian di tempat lain. Semakin lama semakin hadir apa yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai real time.
Dalam situasi itu, tentunya kita akan mengatakan, ”sang iblis” akan semakin memperdaya: dekat dan jauh menjadi semakin kabur. Ketika pada 1755 Kota Lisabon dihantam gempa, yang disusul dengan tsunami dan kebakaran besar—sebanyak 85 persen gedung hancur, termasuk istana, arsip sejarah dan perpustakaan musnah—baru sekitar seminggu kemudian berita itu sayup-sayup sampai di kuping orang di Paris. Kini ”waktu fenomenologis” semakin mendesak. Tsunami di Indonesia dan di Jepang diberitakan saat kejadian itu berlangsung. Sebuah jam siaran yang menghadirkan korban-korban pertempuran di Kota Aleppo, Suriah, serentak dengan itu menyiarkan sebuah fashion show di sebuah mall di Jakarta.
Dan tak hanya itu: berbeda dengan berita di koran harian yang konstruksinya dibuat seragam (harus mengikuti kaidah berita ”5W-1H”, harus menempatkan informasi terakhir dan terpenting di baris awal), berita-berita televisi dan Internet meniadakan keseragaman konstruksi itu.
Dan lebih dari itu semua, pengalaman informasi tentang peristiwa X datang dalam waktu yang serentak ketika X itu tengah berlangsung—meskipun di tempat yang sangat berjauhan dan berbeda.
Ini membuat kita tak mudah melihat di mana ujung peristiwa itu. Memang, dalam zaman instant noodle dan quick count ini, ketika televisi merangsang komentar-komentar seketika, yang tampaknya dominan adalah ketergesa-gesaan. Berita besar kemarin segera ditenggelamkan berita besar hari ini. Para peneliti sebuah bidang kehidupan digantikan ”pengamat”. Sejarawan diambil alih penyusun timeline. Yang diakronik, yang berkembang dalam waktu, praktis tak berarti lagi, digantikan yang sinkronik.
Hegel pernah mengatakan, sejarah—karena merupakan riwayat perkembangan akal budi manusia—akhirnya ditulis bukan lagi dalam bentuk puisi. Baginya, prosa lebih dari puisi, historiografi modern lebih ulung ketimbang tembang-tembang Babad Tanah Jawi. Prosa punya kemampuan analisis dan sintesis. Sejarah dalam prosa akan menghadirkan sebuah kesatuan yang membayangkan adanya Ide.
Prosa juga keteraturan. Bagi Hegel, sejarah berlangsung dalam proses dialektik: beberapa hal yang bertentangan dalam kehidupan bertempuk dan setelah itu terjunjung menjadi sesuatu yang baru, makin lama makin menuju ke sebuah ujung. Ujung itu, menurut Hegel, jelas, sesuai dengan akal budi.
Tapi hari makin menjauhi Hegel. Ibarra punya Iblis-nya sendiri. Kini, el demonio bukan merisaukan kita dengan perbandingan antara wujud yang setara tapi tak sama, melainkan hasrat akan sebuah ujung yang nyaman dan keserbamungkinan.
Dengan kata lain, kita ada, kita berpikir atau berzikir, dan kita tetap saja bisa tergelincir.
Goenawan Mohamad
Setelah tujuh tahun bersekolah di Eropa, Ibarra pulang ke Filipina, dan di sepanjang Kota Manila ia tak hanya melihat Manila. Di matanya, kebun beragam tumbuhan di kota itu tak putus-putusnya tampak dibayang-bayangi taman-taman yang pernah dikenalnya di Eropa. Ia tak lagi melihat begitu saja; baginya, tamasya itu sesuatu yang dekat dan sekaligus jauh. Seakan-akan ada setan yang memperdayanya dengan jarak dan waktu. Ia resah.
Di saat itu, menjelang akhir abad ke-19 itu, tokoh utama dalam novel Noli me Tángere yang ditulis pahlawan nasional Filipina José Rizal ini merasakan apa yang disebutnya sebagai el demonio de las comparaciones. Dalam buku Benedict Anderson yang cemerlang, The Spectre of Comparisons, momen itu diambil sebagai salah satu contoh awal kesadaran kebangsaan, terutama di Asia Tenggara. Ada yang mengatakan bahwa kesadaran itu tak sekadar tumbuh dari ”mambang”, spectre, tapi dari ”iblis”, demon, atau el demonio. Begitu menggugah, begitu membakar.
Membandingkan memang mengandung dua titik pandang: jauh dan dekat. Dalam keduanya kita menemukan yang sama dan sekaligus beda, universal dan yang partikular. Dalam tafsir saya, permainan tipu daya sang Iblis terletak dalam ”waktu”.
Dua waktu yang berbeda—waktu Ibarra di Berlin dan waktu ia berada di Manila—seakan-akan homogen. Masing-masing seakan-akan tak berisi apa-apa, seperti bujur sangkar yang secara universal dikenal sebagai bentuk yang semua sisinya sama panjang, seperti deretan petak di kertas datar. Anderson memakai istilah ”waktu yang homogen dan kosong”, homogenous empty time.
Tapi tentu saja ”waktu” yang seperti itu sepenuhnya abstrak. Sementara itu ”waktu” yang kita alami sehari-hari, juga yang dialami Ibarra, adalah ”waktu fenomenologis”: mengalir terus tapi sekaligus bersentuhan dengan tubuh dan ruang, dan di dalam semua itu ada emosi, suasana hati. Ia bergerak dalam proses, tapi tak seluruhnya terbangun sebagai keragaman yang murni. Detik ini tak mengulangi detik sebelumnya dan tak akan diulangi oleh yang sesudahnya, tapi semua itu dipertemukan di sebuah ”kosmos”.
Sebab itulah yang terjadi dalam pengalaman Ibarra itu menyakitkan: Manila yang begitu miskin, bila dijajarkan dengan Berlin, meskipun kedua-duanya punya taman kota, adalah Manila tempat ia berdiri, punya masa silam, merasa sebagai seseorang yang tak seluruhnya cair seperti tinta yang belum membentuk sebuah gambar.
Kini, hampir satu setengah abad setelah Ibarra kembali ke Manila, perbandingan dari satu tempat ke tempat lain makin cepat, makin beragam. Inilah di zaman ketika surat kabar dan semua produk ”kapitalisme cetak” mulai menurun pengaruhnya. Televisi, atau informasi audiovisual yang lain, kian menghubungkan satu kejadian di sebuah tempat pada saat yang sama dengan kejadian di tempat lain. Semakin lama semakin hadir apa yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai real time.
Dalam situasi itu, tentunya kita akan mengatakan, ”sang iblis” akan semakin memperdaya: dekat dan jauh menjadi semakin kabur. Ketika pada 1755 Kota Lisabon dihantam gempa, yang disusul dengan tsunami dan kebakaran besar—sebanyak 85 persen gedung hancur, termasuk istana, arsip sejarah dan perpustakaan musnah—baru sekitar seminggu kemudian berita itu sayup-sayup sampai di kuping orang di Paris. Kini ”waktu fenomenologis” semakin mendesak. Tsunami di Indonesia dan di Jepang diberitakan saat kejadian itu berlangsung. Sebuah jam siaran yang menghadirkan korban-korban pertempuran di Kota Aleppo, Suriah, serentak dengan itu menyiarkan sebuah fashion show di sebuah mall di Jakarta.
Dan tak hanya itu: berbeda dengan berita di koran harian yang konstruksinya dibuat seragam (harus mengikuti kaidah berita ”5W-1H”, harus menempatkan informasi terakhir dan terpenting di baris awal), berita-berita televisi dan Internet meniadakan keseragaman konstruksi itu.
Dan lebih dari itu semua, pengalaman informasi tentang peristiwa X datang dalam waktu yang serentak ketika X itu tengah berlangsung—meskipun di tempat yang sangat berjauhan dan berbeda.
Ini membuat kita tak mudah melihat di mana ujung peristiwa itu. Memang, dalam zaman instant noodle dan quick count ini, ketika televisi merangsang komentar-komentar seketika, yang tampaknya dominan adalah ketergesa-gesaan. Berita besar kemarin segera ditenggelamkan berita besar hari ini. Para peneliti sebuah bidang kehidupan digantikan ”pengamat”. Sejarawan diambil alih penyusun timeline. Yang diakronik, yang berkembang dalam waktu, praktis tak berarti lagi, digantikan yang sinkronik.
Hegel pernah mengatakan, sejarah—karena merupakan riwayat perkembangan akal budi manusia—akhirnya ditulis bukan lagi dalam bentuk puisi. Baginya, prosa lebih dari puisi, historiografi modern lebih ulung ketimbang tembang-tembang Babad Tanah Jawi. Prosa punya kemampuan analisis dan sintesis. Sejarah dalam prosa akan menghadirkan sebuah kesatuan yang membayangkan adanya Ide.
Prosa juga keteraturan. Bagi Hegel, sejarah berlangsung dalam proses dialektik: beberapa hal yang bertentangan dalam kehidupan bertempuk dan setelah itu terjunjung menjadi sesuatu yang baru, makin lama makin menuju ke sebuah ujung. Ujung itu, menurut Hegel, jelas, sesuai dengan akal budi.
Tapi hari makin menjauhi Hegel. Ibarra punya Iblis-nya sendiri. Kini, el demonio bukan merisaukan kita dengan perbandingan antara wujud yang setara tapi tak sama, melainkan hasrat akan sebuah ujung yang nyaman dan keserbamungkinan.
Dengan kata lain, kita ada, kita berpikir atau berzikir, dan kita tetap saja bisa tergelincir.
Goenawan Mohamad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar