Senin, 31 Oktober 2011
Sejarah bergerak dengan keluhan; tiap zaman punya gerutunya sendiri. Suasana muram ala Kalatidha yang digambarkan Ranggawarsita akan selalu dirasakan di suatu masa, di suatu tempat.
Para pembaca sastra Jawa kenal benar dengan karya berbentuk tembang sepanjang 12 pupuh itu. Setidaknya kalimat, "Amenangi jaman édan…." Dan tiap kali mereka ingat baris itu, mereka akan merasa bahwa yang mereka alami juga sebuah "zaman gila"….
Mungkin itu sebabnya Serat Kalatidha, dengan bahasa yang tak lazim bagi lidah sehari-hari itu, sering dianggap "ramalan". Ranggawarsita pun jadi makhluk dongeng. Hampir seabad yang lalu satu tim ditugasi menyusun biografinya. Hasilnya Babad Cariyos Lelampahanipun Suwargi Radèn Ngabèhi Ronggawarsita, yang terbit dalam tiga jilid di awal 1930-an. Di sana dikatakan bahwa cahaya dari langit masuk ke dalam diri pemuda bandel yang kemudian jadi penyair itu—sebab itu ia mampu menulis sastra yang canggih. Buah tangannya lahir dengan kekuatan spiritual yang tinggi; ia mampu melihat masa yang belum tiba.
Tapi sebenarnya sastra selalu mengandung anasir yang profetik. Sebuah karya hidup dan bergetar dalam sebuah paradoks. Ia lahir dari sebuah situasi kini-dan-di-sini, latar yang konkret, momen yang tak akan terulang. Tapi ia bergabung dengan para pembaca yang akan datang: orang-orang yang akan menemuinya dan menafsirkannya setelah ia beredar. Dalam hal itu, Kalatidha adalah sebuah monumen—seperti tiap puisi yang berarti. Sebuah monumen, kata Deleuze & Guattari, tak merayakan masa lalu, melainkan berbisik ke "telinga masa depan"—dan akan terdengar "penderitaan manusia yang dihidupkan lagi tak henti-hentinya, protesnya yang diperbaharui, perjuangannya yang dibangkitkan kembali".
Kalatidha ditulis sekitar tahun 1860—kurang-lebih seperempat abad setelah "Manifesto Komunis" dan sedasawarsa setelah novel David Copperfield Charles Dickens. Artinya ia diolah di sebuah masa ketika orang memandang dunia sebagai himpunan data, bukan wahyu. Marx & Engels merumuskan sesuatu dari pengalaman, bukan dari firman. Begitu pula realisme novel Dickens.
Juga Ranggawarsita: ia menulis dari pengamatannya tentang hidup sehari-hari, meskipun tak rinci dan di sana-sini tersekat dalam prosodi tembang sinom. Kalatidha menyebut sebuah keadaan sosial-politik di mana raja dan para pejabat tingginya bisa dipuji, tapi orang—terutama dirinya—hidup di tengah suasana curang, penuh intrik, fitnah, dan ucapan palsu (ujar lamis). Sebagian besar tembang panjang itu bersifat deskriptif.
Dari dalamnya kita bisa merasakan keluhan, amarah, sedikit humor pahit, dan introspeksi—yang menunjukkan betapa akrabnya Kalatidha dengan pengalaman pribadi penulisnya. Ranggawarsita, sang pujangga istana, memang menulis dengan luka dan trauma. Hidup di sebuah masa ketika Kerajaan Surakarta praktis habis, ia sendiri miskin. "Ronggawarsita’s own poverty is legendary," tulis Nancy K. Florida dalam "Reading the Unread in Traditional Javanese Literature".
Florida memaparkan satu telaah yang perseptif tentang pujangga ini—khususnya dalam hubungannya dengan Serat Jayèngbaya, yang digubah Ranggawarsita ketika berumur 28, yakni pada 1830. Itu berarti menjelang akhir Perang Diponegoro, perang lima tahun yang mengguncang Pulau Jawa dan selesai sebagai pembangkangan yang kalah. Diperkirakan 200 ribu orang di Jawa tewas; ketika itu penduduk hanya tiga juta. Bisa dibayangkan kerusakan ekonomi yang terjadi.
Para nayaka dan sentana di lingkungan Keraton Surakarta pun harus hidup terengah-engah dan mengerahkan pelbagai akal cerdik. Raja mereka, Pakubuwana VI, yang diam-diam membantu gerilya Diponegoro, ditangkap. Belanda membuangnya ke Ambon. Dua tahun sebelumnya, pada 1828, ayah Ranggawarsita sendiri juga disingkirkan ke Batavia.
Suasana amat represif. Florida mengutip satu bagian Jayèngbaya tentang bagaimana mudahnya guru dan para murid ditindak bila mereka bertemu secara rahasia dan membicarakan hal yang "aneh-aneh". Tanpa peringatan, mereka akan "tinalikung, kinungkung kukum kunjara": ditelikung, dikungkung dalam penjara.
Saat itu "jaman édan" sudah mulai. Jayèngbaya saksinya: serangkai tembang dengan humor hitam, sinisme tajam, tapi terdengar seperti permainan nakal anak-anak.
Dengan gaya mengejek diri sendiri, Ranggawarsita mencemooh karier dan status yang umumnya dimimpikan orang di masa itu. Jadi guru, misalnya, mudah: dengan hanya mengucapkan "kalimah" (klimah) dan dengan "ilmu" yang tak lebih dari kata "asyhadu’alah". Status guru [agama] itu akhirnya tampak sepele dan oportunistis: bisa mengumpulkan uang banyak ("nglumpuk selawé pethak") tapi akan celaka jika mendapatkan murid yang pintar.
Begitu pula jadi tentara, hakim, dan lain-lain. Bahkan posisi sebagai Tuhan tak luput dari lelucon: status ini memang enak, berkuasa dan punya banyak pembantu, tapi berada di luar ruang dan waktu—dan ini praktis sama saja dengan tunawisma!
Dengan sekali pukul, dan dengan jenaka, yang suci dan yang rendah disamaratakan: guru, tentara, algojo, anjing, pedagang obat…. Tatanan dan klasifikasi dirobohkan.
Tampak, Ranggawarsita memisahkan diri dari sana. Ia menertawakannya—atau ia memilih menyendiri: mati sajroning ngaurip, kalis ing rèh huru hara. Justru dengan begitu ia berbisik ke "telinga masa depan": ke sebuah masyarakat lain, yang belum hadir tapi dihasratkan, di mana status dan klasifikasi hilang.
Gerutu dan ejekannya menandai jalan ke masa itu—meskipun tak selalu jelas seperti apa. Yang jelas, penderitaan manusia dirasakan kembali, protes diperbaharui, perjuangan dibangkitkan lagi.
Goenawan Mohamad
Sejarah bergerak dengan keluhan; tiap zaman punya gerutunya sendiri. Suasana muram ala Kalatidha yang digambarkan Ranggawarsita akan selalu dirasakan di suatu masa, di suatu tempat.
Para pembaca sastra Jawa kenal benar dengan karya berbentuk tembang sepanjang 12 pupuh itu. Setidaknya kalimat, "Amenangi jaman édan…." Dan tiap kali mereka ingat baris itu, mereka akan merasa bahwa yang mereka alami juga sebuah "zaman gila"….
Mungkin itu sebabnya Serat Kalatidha, dengan bahasa yang tak lazim bagi lidah sehari-hari itu, sering dianggap "ramalan". Ranggawarsita pun jadi makhluk dongeng. Hampir seabad yang lalu satu tim ditugasi menyusun biografinya. Hasilnya Babad Cariyos Lelampahanipun Suwargi Radèn Ngabèhi Ronggawarsita, yang terbit dalam tiga jilid di awal 1930-an. Di sana dikatakan bahwa cahaya dari langit masuk ke dalam diri pemuda bandel yang kemudian jadi penyair itu—sebab itu ia mampu menulis sastra yang canggih. Buah tangannya lahir dengan kekuatan spiritual yang tinggi; ia mampu melihat masa yang belum tiba.
Tapi sebenarnya sastra selalu mengandung anasir yang profetik. Sebuah karya hidup dan bergetar dalam sebuah paradoks. Ia lahir dari sebuah situasi kini-dan-di-sini, latar yang konkret, momen yang tak akan terulang. Tapi ia bergabung dengan para pembaca yang akan datang: orang-orang yang akan menemuinya dan menafsirkannya setelah ia beredar. Dalam hal itu, Kalatidha adalah sebuah monumen—seperti tiap puisi yang berarti. Sebuah monumen, kata Deleuze & Guattari, tak merayakan masa lalu, melainkan berbisik ke "telinga masa depan"—dan akan terdengar "penderitaan manusia yang dihidupkan lagi tak henti-hentinya, protesnya yang diperbaharui, perjuangannya yang dibangkitkan kembali".
Kalatidha ditulis sekitar tahun 1860—kurang-lebih seperempat abad setelah "Manifesto Komunis" dan sedasawarsa setelah novel David Copperfield Charles Dickens. Artinya ia diolah di sebuah masa ketika orang memandang dunia sebagai himpunan data, bukan wahyu. Marx & Engels merumuskan sesuatu dari pengalaman, bukan dari firman. Begitu pula realisme novel Dickens.
Juga Ranggawarsita: ia menulis dari pengamatannya tentang hidup sehari-hari, meskipun tak rinci dan di sana-sini tersekat dalam prosodi tembang sinom. Kalatidha menyebut sebuah keadaan sosial-politik di mana raja dan para pejabat tingginya bisa dipuji, tapi orang—terutama dirinya—hidup di tengah suasana curang, penuh intrik, fitnah, dan ucapan palsu (ujar lamis). Sebagian besar tembang panjang itu bersifat deskriptif.
Dari dalamnya kita bisa merasakan keluhan, amarah, sedikit humor pahit, dan introspeksi—yang menunjukkan betapa akrabnya Kalatidha dengan pengalaman pribadi penulisnya. Ranggawarsita, sang pujangga istana, memang menulis dengan luka dan trauma. Hidup di sebuah masa ketika Kerajaan Surakarta praktis habis, ia sendiri miskin. "Ronggawarsita’s own poverty is legendary," tulis Nancy K. Florida dalam "Reading the Unread in Traditional Javanese Literature".
Florida memaparkan satu telaah yang perseptif tentang pujangga ini—khususnya dalam hubungannya dengan Serat Jayèngbaya, yang digubah Ranggawarsita ketika berumur 28, yakni pada 1830. Itu berarti menjelang akhir Perang Diponegoro, perang lima tahun yang mengguncang Pulau Jawa dan selesai sebagai pembangkangan yang kalah. Diperkirakan 200 ribu orang di Jawa tewas; ketika itu penduduk hanya tiga juta. Bisa dibayangkan kerusakan ekonomi yang terjadi.
Para nayaka dan sentana di lingkungan Keraton Surakarta pun harus hidup terengah-engah dan mengerahkan pelbagai akal cerdik. Raja mereka, Pakubuwana VI, yang diam-diam membantu gerilya Diponegoro, ditangkap. Belanda membuangnya ke Ambon. Dua tahun sebelumnya, pada 1828, ayah Ranggawarsita sendiri juga disingkirkan ke Batavia.
Suasana amat represif. Florida mengutip satu bagian Jayèngbaya tentang bagaimana mudahnya guru dan para murid ditindak bila mereka bertemu secara rahasia dan membicarakan hal yang "aneh-aneh". Tanpa peringatan, mereka akan "tinalikung, kinungkung kukum kunjara": ditelikung, dikungkung dalam penjara.
Saat itu "jaman édan" sudah mulai. Jayèngbaya saksinya: serangkai tembang dengan humor hitam, sinisme tajam, tapi terdengar seperti permainan nakal anak-anak.
Dengan gaya mengejek diri sendiri, Ranggawarsita mencemooh karier dan status yang umumnya dimimpikan orang di masa itu. Jadi guru, misalnya, mudah: dengan hanya mengucapkan "kalimah" (klimah) dan dengan "ilmu" yang tak lebih dari kata "asyhadu’alah". Status guru [agama] itu akhirnya tampak sepele dan oportunistis: bisa mengumpulkan uang banyak ("nglumpuk selawé pethak") tapi akan celaka jika mendapatkan murid yang pintar.
Begitu pula jadi tentara, hakim, dan lain-lain. Bahkan posisi sebagai Tuhan tak luput dari lelucon: status ini memang enak, berkuasa dan punya banyak pembantu, tapi berada di luar ruang dan waktu—dan ini praktis sama saja dengan tunawisma!
Dengan sekali pukul, dan dengan jenaka, yang suci dan yang rendah disamaratakan: guru, tentara, algojo, anjing, pedagang obat…. Tatanan dan klasifikasi dirobohkan.
Tampak, Ranggawarsita memisahkan diri dari sana. Ia menertawakannya—atau ia memilih menyendiri: mati sajroning ngaurip, kalis ing rèh huru hara. Justru dengan begitu ia berbisik ke "telinga masa depan": ke sebuah masyarakat lain, yang belum hadir tapi dihasratkan, di mana status dan klasifikasi hilang.
Gerutu dan ejekannya menandai jalan ke masa itu—meskipun tak selalu jelas seperti apa. Yang jelas, penderitaan manusia dirasakan kembali, protes diperbaharui, perjuangan dibangkitkan lagi.
Goenawan Mohamad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar