Senin, 11 Juli 2011
Juli 1776 dan Juli 1789: penanda waktu yang penting dalam sejarah, ketika kita mengingat sebuah optimisme yang mungkin berlebihan. Revolusi Amerika dan Prancis (dan satu abad lebih kemudian Revolusi Rusia) tak akan tercetus andai kata sejumlah orang tak yakin penuh bahwa mereka, sebagai layaknya manusia, mampu mengubah sejarah.
Tapi setelah itu—
Setelah Juli dan tahun itu berlalu, lewat satu periode lain, optimisme pun tergerus. Revolusi ternyata tak membuat manusia sepenuhnya bebas, berkeadilan, berpunya, berbahagia—dan orang tak jarang melihat kembali perubahan besar itu dengan muram. Sinisme beredar. Revolusi seakan-akan berawal dengan sebuah ilusi di cermin. Revolusi seakan-akan bermula dari anggapan yang berlebihan tentang kehebatan manusia dan sebab itu kemerdekaan adalah hak dan kemerdekaan itu mungkin.
Napoleon, opsir pasukan Revolusi Prancis yang hebat itu, kemudian meninggalkan cita-cita Juli 1789. Pada suatu hari ia mengangkat diri jadi maharaja dan mengatakan bahwa bukan hasrat kemerdekaan yang mendorong manusia menggerakkan revolusi. Yang membuat revolusi, katanya, adalah "kekenesan", la vanité. Kemerdekaan, itu hanya dalih.
Kadang-kadang sinisme memang terdengar cerdas, seperti gugatan yang menusuk: benarkah kita sebenarnya tak cuma sedang berpose, kenes, mengira kita bisa berubah, bisa berbuat baik untuk orang banyak, dengan atau tanpa revolusi? Padahal tidak?
Harus saya tambahkan: pertanyaan itu (kita juga sering mendengarnya di Indonesia pasca-Reformasi) tak hanya ungkapan sinisme. Pertanyaan ini menandai zaman yang konservatif kini. Dalam beragama, dalam perilaku dan hubungan berkeluarga, banyak orang melihat perubahan sebagai langkah ke malapetaka.
Harus pula saya tambahkan: tak semuanya cuma karena konservatisme. Ada sebab lain: semacam relativisme.
Bila perempuan ditindas di sebuah tempat, sikap ini akan menerima penindasan itu dengan mengatakan bahwa nilai-nilai orang lain tak bisa kita ubah dengan nilai-nilai kita. Politik dewasa ini sering mendesakkan agar kita menghargai kearifan lokal, identitas-identitas yang berlainan, atau keunikan sebuah kaum. Yang tak disadari, sikap ini bisa berakhir dengan politik yang, seperti sikap konservatif, tak menghendaki transformasi.
Seakan-akan tak ada konflik dalam sejarah. Seakan-akan tak ada dialektik, seakan-akan perbedaan dalam hidup ibarat dua sisi rel kereta api yang sejajar, tak bertaut, maka tak akan bertabrakan.
Dengan pandangan itu orang lupa, bahkan sebatang rel pun sebuah entitas yang tak permanen. Ia terdiri atas zat yang berubah. Dalam tiap perubahan terjadi konflik.
Terutama ini berlaku pada manusia. Mereka yang percaya manusia tak berubah adalah mereka yang percaya bahwa manusia dibentuk oleh kodrat yang tetap—sementara dalam tubuh, tiap saat sel berganti, napas tak pernah menghirup oksigen yang sama, ingatan baru selalu datang menumpuk mengubah apa yang ada di bawah sadar.
Kita memang perlu diingatkan bahwa, untuk meminjam dari Alain Badiou, yang ada hanyalah "tubuh dan bahasa-bahasa". Dengan kata lain, diperlukan satu pendekatan seorang materialis yang menampik bahwa ada ide abadi yang membentuk dunia, seorang materialis yang melihat perubahan sebagai hal yang niscaya: tubuh tak bisa tetap. Juga bahasa—yang terbentuk dari interaksi sosial di suatu masa di suatu tempat dan diungkapkan melalui badan—bukanlah bangunan yang selesai dalam satu gramatika.
Tapi persoalannya: apa yang terjadi dalam perubahan?
Kita ingat kaum konservatif. Mereka akan mengatakan bahwa yang terjadi hanya ilusi yang riskan. Tapi sebaliknya ada kaum antikonservatif yang mengatakan bahwa perubahan tak ada jika bukan sesuatu yang radikal. Revolusi dipertentangkan dengan evolusi. Dunia harus diciptakan baru—dan tiap sisa dari dunia yang lama akan dilihat sebagai tanda kesia-siaan ikhtiar transformasi. Walhasil: sejenis gugatan yang mirip sinisme lama, yang mungkin akan menghalalkan sinisme setua Napoleon: para pembaharu hanya dianggap orang-orang kenes, selama tak ada reformasi yang radikal.
Tapi yang tragis, atau mungkin juga tak tragis, dalam sejarah adalah bahwa manusia tak bisa membangun dunia dari nihil. Yang berbicara "kun fayakun" hanya Tuhan. Saya suka mengulang Marx: manusia membuat sejarah, tapi membuatnya dalam kondisi yang tak ditentukannya sendiri. Transformasi sosial, sebagaimana transformasi tubuh, tak datang dari simsalabim transendental. Langkah baru adalah langkah baru, tapi dengan bekas lumpur, pasir, dan debu yang menempel pada kaki dari pergulatan kemarin petang.
Yang penting adalah, dengan bekas-bekas itu, kita tak lupa bahwa ada subyek yang membawa kabar lain: bukan kekenesan yang mendorong perubahan, melainkan rasa sakit manusiawi yang dicekik ketidakadilan—yang membuat keadilan begitu jelas meskipun tak datang dari wasiat purba ataupun dari ensiklopedia.
Di saat itu, perubahan bisa disebut membawa sesuatu yang radikal baru—satu "instan" ala Bachelard: hasil dari penampikan total yang tergerak untuk menjangkau yang mustahil. Yang mustahil itu adalah kebaruan yang menggugah. Ia membangkitkan kita di malam gelap yang tanpa tidur.
Ketika fajar tiba, kita memang akan melihat yang tak tercapai masih banyak. Yang masih harus dihancurkan akan selalu ada. Namun yang telah tercapai bukannya tanpa makna. Revolusi yang melahirkan emansipasi—betapapun tak utuh dan tak stabilnya itu—memberi bekal untuk mengilhami transformasi baru. Revolusi Juli, Oktober, Agustus, dan lain-lain yang tak tercatat: masing-masing isyarat bahwa sinisme adalah putus asa. Putus asa yang keliru.
Goenawan Mohamad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar