Cerpen Gunawan Maryanto
Dimuat di Jawa Pos 02/15/2009
Rengganis biisa terbang bukan hanya karena ia doyan sari kembang, tapi juga tubuhnya demikian ringan. Putri mantan raja Jamineran itu tak ubahnya seekor kupu-kupu; cantik dan rapuh dalam satu waktu. Tapi juga sakti; ia bisa masuk ke taman Banjaran Sari tanpa seorang pengawal pun menyadari.
Dari gunung Argapura ia terbang seorang diri, tiap hari, memetik kembang Banjaran Sari sesukanya sendiri. Hingga taman itu berantakan, kehilangan kembang dan keindahan. Dan suatu sore, Pangeran Kelan sang empunya taman, memergokinya.
Maling Sakti, berhenti!
Rengganis tertangkap basah dengan beberapa tangkai kembang di tangannya. Tapi wajahnya tak nampak bersalah. Ia malah tersipu malu seperti perempuan yang tengah dirayu. Tapi memang demikianlah yang kemudian terjadi. Pangeran Kelan bukannya marah tapi malah jatuh cinta kepada si pencuri.
Pangeran, kata Rengganis di sesela tembang cinta sang Pangeran, aku mau jadi istrimu, jika kau juga bisa meminang putri Mukadam jadi istrimu. Tak enak rasanya aku bahagia seorang diri dan meninggalkan sahabatku itu dalam kesendiriannya. Selesai mengucapkan permintaannya Rengganis terbang kembali ke Argapura. Tinggallah Pangeran Kelan seperti seseorang yang baru bangun dari mimpinya. Lalu malam turun dengan cepat, menghadirkan bulan pucat dan perasaan yang berlarat-larat. Dan para setan mulai menabuh gendang-gendang kegilaan. Pangeran Kelan kehilangan ingatannya. Ia menyanyi dan menari. Berteriak-teriak memanggil nama Rengganis di sela tawa dan tangisnya. Para emban dan pengawal tak bisa menyadarkannya. Nama Rengganis terus dilafalkannya seperti mantra. Seperti doa. Seperti puja.
Dewi Julusul-asikin keluar dari kamarnya dan mendapati suami yang tak dicintainya telah gila. Rambutnya berantakan dan penuh dengan selipan kembang mirip taman berantakan yang berjalan. Putri Jamintoran itu memeluknya dan menangis untuk pertama kalinya. Ia bisa saja tak mencintainya, tapi ia tetap tak rela jika lelaki yang telah menjadi suaminya itu jadi tontonan yang menyedihkan.
***
Kabar tak enak itu sampai di telinga Wong Agung. Kakang, tak puas-puasnya penderitaan mengikuti ke mana pun aku pergi, katanya kepada Umarmaya dengan putus asa. Si Tukang Copet berwajah jenaka itu tak berani mengumbar ketawanya. Ia tahu adiknya sedang bersedih.
Aku pergi dulu, Yayi. Akan kucari jawaban yang membuat anakmu itu gila. Setelah menepuk-nepuk bahu Wong Agung, Umarmaya menjadi angin, melesat menemui Seh Dul Kures, sang Petapa. Petapa sakti itu menunjuk Argapura sebagai asal bencana. Tapi Umarmaya malah melesat menuju Mukadam. Aku tak mencari asal, Kyai. Aku mencari jawaban, katanya.
Dan Mukadam, Saudara-saudara, adalah negeri yang mengerikan. Dijaga oleh ribuan prajurit dari tembaga yang digerakkan oleh tukang sihir bernama Majusi. Tak siapa pun bisa masuk ke sana tanpa membangunkan tidurnya. Jika Majusi terbangun, ribuan prajurit tembaga yang semula menyerupa arca itu akan bergerak seperti punya nyawa dan tenaga yang tak ada habisnya. Demikianlah yang terjadi ketika angin yang tak lain adalah Umarmaya nekat masuk ke wilayah Mukadam.
Umarmaya terkepung. Ia tak punya celah untuk lari, keahliannya yang paling utama. Juga ilmu sirepnya, yang mampu menidurkan seluruh mahluk di muka bumi, tak berguna apa-apa. Ia tetap tak bisa menidurkan tembaga. Malahan rapalan itu berbalik menidurkannya. Tanpa perlawanan yang berarti, Umarmaya berhasil diringkus dan dimasukkan ke sumur berbisa, dan dibiarkan sendiri menanti mati.
Seluruh Mukadam berpesta, terlebih Prabu Nusirwan dari Medayin yang kebetulan tengah bertamu. Dengan kematian yang akan segera menjemput Umarmaya ia akan kehilangan musuh-musuhnya. Tinggal Wong Agung, batinnya. Ia memeluk Raja Mukadam mengucapkan terima kasih dan berniat mengabadikan persekutuan itu dengan menjodohkan Raden Hirman, anaknya, dengan putri Mukadam, Dewi Kadarmanik. Raja Mukadam menyambutnya. Tanggal pernikahan segera diumumkan. Pesta dilanjutkan. Prajurit-prajurit tembaga menabuh dirinya, membentur-benturkan tubuh satu sama lain, menjadi bebunyian yang meriah dan mengerikan.
Di dalam kamarnya, Dewi Kadarmanik, penyair perempuan yang begitu mengagumi Neruda, mengunci diri. Keputusan ayahnya betul-betul memukulnya. Ia sama sekali tak memimpikan perkawinan, apalagi dengan Raden Hirman, pemabuk yang sering teler di emperan pasar Medayin. Ia hanya menginginkan kesendirian. Dan satu-satunya yang paling menghibur adalah membaca syair Neruda, atau menerbitkan antologi puisinya seorang diri. Tak ada yang lain. Ia begitu mencintai dirinya. Dan sedikit mencintai Mukadam yang hanya dihuni logam-logam.
Lalu di tengah kesedihan yang mendalam itu, Rengganis menyentuhnya seperti puisi. Kadarmanik mau tak mau tersenyum menyadari kehadiran sahabatnya itu. Kau seperti malaikat, Rengganis, bisiknya di telinga Rengganis. Begitulah seorang sahabat bagi sahabatnya, sahut Rengganis. Aku akan membawamu pergi dari kesedihan ini. Aku akan membawamu terbang ke tanah Arab. Kita akan menemui kebahagiaan di sana. Aku akan mengajakmu memasuki agama baru, Islam namanya. Aku juga akan mengajakmu mengenal seorang lelaki, Iman Sumantri namanya, si Pangeran Kelan. Mungkin semua itu akan membuatmu sedikit bahagia.
Bisakah kita keluar dari sini? Kadarmanik mendadak ketakutan mengingat kesaktian sang Majusi. Tenanglah, aku bisa masuk ke sini, maka aku juga akan bisa keluar dari sini. Majusi dan prajurit-prajurit tembaganya sedang berpesta. Mereka akan lena dan tak menyadari kepergian kita. Untuk Raden Hirman, biarlah guling tidurmu yang menggantikanmu. Selesai menyulap guling tidur menjadi sosok Kadarmanik, Rengganis membawa terbang sahabatnya itu menuju tanah Arab, menemui Pangeran Kelan.
***
Wong Agung belum beranjak dari situasinya semula. Malah bertambah-tambah karena kabar Umarmaya yang menjadi tawanan Mukadam. Dengan kesedihan yang bercampur dengan kemarahan ia memerintahkan Maktal untuk menggempur Mukadam. Maktal segera berangkat membawa ribuan tentara Arab. Di perbatasan, perang besar pun tak terhindarkan. Prajurit logam Mukadam bersama prajurit Medayin bahu-membahu menghadang gerak laju pasukan Arab. Raden Hirman mengamuk mencari calon istrinya yang hilang. Ia beradu sakti dengan Maktal.
Sementara itu Rengganis dan Kadarmanik telah sampai di taman Banjaran Sari. Pangeran Kelan yang kehilangan ingatannya mendadak sembuh begitu diusap wajahnya oleh Rengganis. Mereka bertiga segera bergerak menuju Mukadam untuk menyelamatkan Umarmaya.
Singkatnya, Umarmaya selamat, tapi pasukan Arab menderita kekalahan hebat. Hampir separo pasukan binasa tak kuasa menghadapi pasukan logam yang kebal dan tak mengenal kematian. Mereka mundur kembali ke kota. Maktal yang terluka berat berusaha diselamatkan.
Di tengah jerit tangis kekalahan itulah Kadarmanik membuka rahasia kesaktian sang Majusi. Ia memiliki air abadi, Tirta Perwitasari. Di sanalah nyawa pasukan tembaga itu berada. Rengganis dan Umarmaya segera berangkat. Umarmaya mengenakan kopiah wasiat yang membuatnya tak bisa terlihat. Mereka segera menuju kediaman sang Majusi.
***
Mukadam tengah berpesta kemenangan. Raden Hirman berusaha menghilangkan kepedihannya dengan meminum air keras sebanyak-banyaknya. Prabu Nusirwan sama sekali tak peduli dengan luka anaknya. Ia sibuk merayakan kekalahan Arab. Wong Agung, kematianmu semakin dekat. Ucapnya berkali-kali dalam hati. Ia bersulang dengan Raja Mukadam, mengikat hubungan sehidup semati.
Dan sang Majusi pun makin jumawa dengan kemenangan yang telah diraihnya. Pujian demi pujian yang dialamatkan kepadanya membuatnya lupa daratan dan tak menyadari bahaya yang tengah mengancam.
Rengganis mengetuk pintu rumahnya. Sedang Umarmaya yang tak kasat mata berada di belakang Rengganis. Meski tahu Majusi tak akan melihatnya, pendekar jenaka itu tetap ngumpet di belakang gadis sakti itu. Majusi yang lupa diri menyambut kedatangan Rengganis bagai kekasihnya. Lebih-lebih Rengganis mengaku sebagai putri yang dihadiahkan Nusirwan kepadanya. Majusi segera menggendong Rengganis, sementara Umarmaya, begitu persembunyian diambil, menyelinap ke balik pintu.
Majusi membawa gadis impiannya masuk ke kamar. Keadaan itu tak disia-siakan oleh Umarmaya. Segera ia mencari-cari di mana letak Tirta Perwitasari. Ia bergerak dengan cepat sebelum Majusi tersadar akan bahaya yang masuk ke dalam rumahnya. Di dalam kamar Rengganis menembang membuat sang Majusi makin mabuk kepayang. Menembang sambil berdebar-debar menunggu kabar dari Umarmaya. Ah, jika saja Majusi tahu bahwa tembang itu adalah tembang kematiannya.
Saudara, sepuluh lagu telah berlalu tapi Umarmaya belum juga berhasil menemukan di mana air abadi itu disimpan. Rengganis mulai dibasahi keringat dingin. Majusi sudah mulai tak sabar kepingin segera meniduri kekasihnya. Ia mulai menaiki tubuh Rengganis yang tak punya alasan lagi untuk menunda persetubuhan. Dan di saat Majusi membuka satu per satu pakain yang dikenakan Rengganis, mendadak terdengar suara tempayan pecah. Keras. Dari arah ruang belakang. Majusi tersentak. Tanpa menghiraukan Rengganis yang tergolek di ranjang ia melesat ke kamar belakang di mana ia menyimpan air pusakanya. Dan terlambat. Tempayan wadah air itu telah dipecah oleh Umarmaya. Dan tanpa bisa diselamatkan lagi air abadi segera lenyap meresap ke dalam tanah. Kembali ke muasalnya. Majusi menjerit panjang meneriakkan kekalahannya. Di saat itu Umarmaya dan Rengganis telah melayang terbang kembali ke Arab.
***
Pasukan Arab menyambut kedatangan kedua pahlawannya. Kemenangan seperti sudah berada di tangan mereka. Tanpa berpikir panjang lagi mereka segera berbaris berangkat ke perbatasan untuk memukul mundur pasukan Mukadam dan Medayin. Tanpa air pusaka pasukan tembaga dengan mudah dihancurkan. Pasukan Medayin yang telah berulang kali menderita kekalahan melawan pasukan Arab bubar tidak karuan begitu melihat sekutu mereka ringsek dan meleleh terbakar. Prabu Nusirwan dan Raja Mukadam berlari ke ruang persembunyian di bawah tanah. Mereka mengutuk Majusi yang tak lagi sakti.
Pasukan Arab pulang membawa kemenangan. Pesta kemenangan pun berlanjut dengan pesta perkawinan sang Pangeran Kelan dengan Rengganis dan Dewi Kadarmanik. Tapi belum lagi hidangan pesta perkawinan disuguhkan, sirene tanda bahaya meraung mengabarkan bahaya yang mengancam kota Mekah. Pesta bubar berubah menjadi jerit kepanikan warga kota.
Wong Agung keluar dari istananya, dan di langit ia menyaksikan 40 kuda terbang menyerang kotanya dengan menjatuhkan bola-bola api. Mekah terbakar. Begitu cepat kehancuran itu terjadi. Tanpa sempat tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Wong Agung diam. Ia seperti mendengar kembali jerit kematian Adaninggar, 25 tahun yang lalu.
***
Adaninggar, Wong Agung meremang mengenangnya. Putri Cina, anak raja Hong Te Te, pendekar perempuan yang luar biasa, pecinta yang tak mengenal menyerah. Konon, suatu malam, putri itu bermimpi bertemu dengan seorang lelaki. Paginya ia bangun dan wajah lelaki dalam mimpinya tetap berada dalam kepalanya. Berhari-hari ia demikian terganggu. Wajah lelaki yang sama sekali belum pernah dilihatnya itu melayang-layang dalam benaknya. Seperti berdiam, berumah dalam kepala perawan itu. Lalu dengan kebulatan hati Adaninggar meninggalkan daratan Cina, untuk memburu mimpinya. Ia yakin, wajah lelaki itu adalah wajah jodohnya. Wajah Wong Agung Jayengrana. Dengan Talikentular, selendang saktinya, Adaninggar terbang.
Sampai di jazirah Arab Adaninggar menempel gambar wajah kekasihnya di mana-mana. Setiap lorong-lorong kota penuh dengan poster Wong Agung. Hingga sampailah poster cinta itu ke Medayin. Wong Agung yang waktu itu masih tinggal bersama Prabu Nusirwan, mertuanya, terganggu dengan kejadian itu. Ia perintahkan para prajurit untuk melepas poster bergambar wajahnya itu. Tapi tiap kali pagi dilepas, malam harinya poster itu telah kembali terpasang di tempatnya semula. Hingga akhir Wong Agung sendiri yang turun untuk menurunkan gambar-gambar wajahnya. Di saat itulah mereka bertemu untuk pertama kalinya. Adaninggar benar-benar jatuh cinta kepadanya. Tapi Wong Agung menolaknya mentah-mentah. Ia sudah punya beberapa istri yang luar biasa, untuk apa menambah satu lagi.
Adaninggar tak kurang akal. Ia merayu Prabu Nusirwan dan akhirnya bisa menjadi selir. Mau tidak mau Adaninggar dan Wong Agung setiap hari ketemu. Dan Adaninggar bisa memberi perintah sesuka hati kepada menantunya. Sebagai anak, Wong Agung menuruti semua perintah ibunya. Kecuali bercinta dengannya. Saking gemesnya Wong Agung pernah diikat dan dicambukinya supaya mau menerima cintanya. Tapi Wong Agung tetap memanggilnya ibu.
Adaninggar juga bersekutu dengan istri-istri Wong Agung, Sudarawreti dan Rabingu Sirtupaleli. Persekutuan mereka menjadi-jadi ketika Wong Agung berniat memperistri Kelaswara, prajurit perempuan, putri Raja Kelanjali. Adaninggar melabrak pesaingnya dan pertempuran dua prajurit perempuan itu pun terjadi. Kelaswara yang tak siap menghadapi serangan mendadak itu terdesak. Maklumlah, saat Adaninggar melabraknya, ia sedang tertidur pulas di kamar pengantin. Tubuh Adaninggar yang kebal dari beragam senjata hampir-hampir membuatnya putus asa. Kelaswara lalu berlari mengambil tombak Lusaka dan melemparkannya. Tombak kecil itu menembus dada kiri Adaninggar dan membuatnya tewas seketika. Sudarawreti dan Rabingu Sirtupaleli berniat membalas kematian sahabatnya, tapi buru-buru Wong Agung menengahinya.
***
Sesungguhnya yang terjadi di langit Mekah adalah 40 kuda terbang dengan penunggang prajurit perempuan dari Cina datang menuntut balas kematian Adaninggar. Widaninggar, adik kandung Adaninggar, memimpin sendiri serangan itu. Dengan bantuan gurunya, Widaningrum, putri tunggal sang Ijajil alias si Begejil, 40 prajurit itu menjadi sakti luar biasa. Mereka mampu membakar kota Wong Agung dalam waktu yang singkat. Wong Agung tak salah, bencana itu datang dari kematian Adaninggar.
Rengganis tak tinggal diam, dengan bantuan Dewi Kuraisin dari Ajrak, ia menghadang laju Widaninggar dan Widaningrum. Di tengah kemelut pertarungan itu, Prabu Nusirwan keluar dari persembunyian lalu lari mengungsi ke tanah Jawa. Meminta perlindungan kepada Kendit Birayung.
Sampai di sinilah kisah Rengganis berakhir. Tapi perseteruan Wong Agung dan Nusirwan masih terus berlanjut.***
Jogjakarta, 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar