Kamis, 16 Juni 2011

Selendang Ajaib Ibu


Menik gusar karena selendang pemberian almarhumah Ibu belum juga diketemukan. Ia mencari ke semua lemari pakaian yang ada di rumah, namun usaha Menik sia-sia. Padahal dua hari lagi ia harus mewakili sekolah dalam lomba tari tingkat Kabupaten.
”Gawat..., bagaimana jika selendang Ibu belum kutemukan. Tanpa selendang itu aku pasti kalah.”
MENIK yakin, selendang pemberian almarhumah Ibu bukanlah selendang biasa. Selendang itu adalah selendang ajaib.
Setiap kali Menik mengikuti lomba tari, ia mengenakan selendang itu. Berkat selendang itu, ia selalu berhasil menjadi juara. Itulah sebabnya, ia merasa khawatir bila tidak menemukan selendang itu sebelum lomba.

DI SEKOLAH, Menik nampak murung. Wulan teman sebangku Menik merasa heran melihat sikap Menik yang berbeda dari biasanya.
”Menik, wajahmu murung, ada apa?” tanya Wulan.
”Aku khawatir saat lomba tari tidak bisa menari dengan baik. Aku takut kalah.”
”Menik... Menik...., kamu kan sudah berkali-kali ikut lomba dan berhasil meraih juara. Kenapa kamu sekarang tidak percaya pada kemampuanmu? Lebih baik kamu rajin berlatih dan menjaga kesehatan supaya bisa berlomba dengan baik,” saran Wulan.
”Tetapi Wulan, selama ini yang membuatku menang bukan karena berlatih keras, melainkan karena selendang Ibu.”
”Selendang Ibumu? Kok bisa?” tanya Wulan heran.
”Ya, selendang yang biasa kupakai berlomba adalah selendang pemberian almarhumah Ibu. Berkat selendang itu aku selalu berhasil meraih juara. Bagiku selendang itu bukan selendang biasa. Selendang itu adalah selendang ajaib.”
”Ooo begitu,” komentar Wulan.
”Apakah sebaiknya aku mengundurkan diri dari lomba?”
”Jangan Menik!” sahut Wulan spontan. ”Kalau kamu mengundurkan diri, siapa yang akan mewakili sekolah kita?”
”Tetapi aku tidak mampu tanpa selendang itu.”

ESOKNYA, lomba tari pun dimulai. Di belakang panggung Menik nampak gusar dan khawatir, sebab ia belum berhasil menemukan selendang Ibu.
”Tuhan, tolong aku supaya bisa mengikuti lomba dengan baik sehingga bisa mengharumkan nama sekolahku,” mohon Menik pada Tuhan.
Tiba-tiba dengan napas terengah-engah, Wulan menghampiri Menik.
”Menik!” panggil Wulan.
”Ada apa Wulan?”
”Kamu belum tampil kan?” tanya Wulan dengan napas yang masih terengah- engah.
Menik menggelengkan kepala.
”Untunglah aku tidak terlambat. Aku membawakan selendang ibuku. Sama seperti selendang ibumu, selendang ini sering dipakai Ibu menari. Dalam setiap lomba, Ibu selalu memakai selendang ini. Berkat selendang ini, Ibu berhasil meraih juara.”
Menik kaget mendengar perkataan Wulan.
”Pakailah selendang ini. Selendang ini bukan selendang biasa, selendang ini adalah selendang ajaib. Dengan selendang ini kamu bisa menari dengan lemah gemulai.”
Tanpa pikir panjang Menik segera mengenakan selendang tersebut. ”Untunglah ada selendang ajaib milik Ibumu. Aku yakin pasti bisa menari dengan baik,” ujar Menik semangat.
”Ya, kamu pasti bisa Menik!”
Tak lama, Menik tampil membawakan tarian asal Jawa Tengah, tari gambyong dengan lemah gemulai. Para penonton dan dewan juri nampak terkesima melihat penampilannya.

USAI tampil, Menik segera menghampiri Wulan.
”Terima kasih Wulan. Berkat bantuanmu aku menjadi percaya diri sehingga bisa menari dengan baik.”
”Menik, kamu temanku, sebagai teman kita harus saling membantu.”
Tak lama, para dewan juri mengumumkan pemenang lomba. Menik betul-betul kaget ketika namanya disebut sebagai juara pertama.
”Terima kasih Tuhan telah mengabulkan doaku.” Menik nampak gembira saat menerima piala. Senyum sumringah menghiasi pipinya.
”Wulan, sekali lagi aku mengucapkan banyak terima kasih,” ujar Menik begitu menuruni panggung.
”Menik, sebetulnya ada yang ingin kujelaskan padamu,” tutur Wulan.
”Ada apa?” Menik nampak bingung.
”Maaf kalau aku sudah membohongimu. Sebetulnya, selendang itu bukanlah selendang ajaib. Selendang itu hanyalah selendang biasa. Dulu saat Ibu berlomba, selendang ini tidak selalu dipakai. Tetapi karena Ibu memang berbakat seperti kamu dan tekun berlatih, maka ia selalu berhasil menjadi juara.”
JADI ini selendang biasa, bukan selendang ajaib?” tanya Menik bingung.
”Ya, selendang ini sama seperti selendang lainnya. Ini bukanlah selendang ajaib seperti yang kukatakan padamu.
Aku terpaksa berbohong supaya kamu percaya diri dan bisa menari dengan baik. Aku yakin, selama ini kamu berhasil menjadi juara bukan karena selendang ibumu tetapi karena kemampuan dan ketekunanmu dalam berlatih. Mulai sekarang kamu harus percaya pada kemampuanmu sendiri.”

WULAN, jika kamu tidak berbuat seperti itu, aku pasti tetap berpikir bahwa kemenanganku selama ini karena selendang ajaib Ibuku. Terima kasih Wulan.”
”Sama-sama Menik.”
Lalu kedua sahabat itu saling berpelukan dan larut dalam kebahagiaan.

Maretta PS Penulis Cerita Anak, Tinggal di Jakarta
Sumber : Kompas Cetak Minggu, 14 November 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar