Kamis, 09 Juni 2011

Burung Bersayap Sebelah


Suatu kali Nasrudin bertanya pada Tuhan:  “kenapa saya dikasi istri cantik?”. Dengan lembut yang ditanya menjawab: “karena cantiklah  kamu pilih dia!”. Belum puas, lagi-lagi Nasrudin bergumam: “Sudah cantik, baik lagi!”. Ini juga dijawab sama: “itu sebabnya kamu pilih dia”. Merasa pertanyaannya dijawab terus, lelaki baik hati ini berbisik: “kenapa istri saya goblok sekali?”. Ini pun dijawab lembut: “karena gobloklah dia pilih kamu, bila ia pintar akan pilih orang lain!”.

Beginilah potret keseharian manusia, mau kelebihan tidak mau kekurangan. Padahal, di mana ada kelebihan di sana ada kekurangan. Bila orang biasa serakah mau yang positif serta marah dengan yang negatif, orang bijaksana lain lagi. Mereka belajar untuk selalu tersenyum pada apa saja yang terjadi. Dalam bahasa analogis, ketidaksempurnaan manusia serupa dengan burung bersayap sebelah. Hanya bisa terbang bila berpelukan.

Dan lebih mudah berpelukan bila kita belajar untuk tersenyum terutama pada kekurangan-kekurangan.
Seperti alam, siang indah karena ada malam.  Matahari dan bintang bekerjasama rapi. Di siang hari matahari menerangi. Di malam  hari,  secara  rapi  bintang  terang  benderang.   Seperti sedang berbisik, bekerja samalah saling melengkapi karena di sana letak rahasia kesempurnaan.

Mengaku diri sempurna, kemudian merasa tidak membutuhkan orang, tidak saja bohong dan sombong, namun juga menjadi awal keruntuhan. HH Dalai Lama agak unik. Bila banyak guru menganggap dirinya baru berhasil setelah merubah muridnya, pemenang hadiah nobel perdamaian tahun 1989 ini berpesan: you don’t need to be religiuos in order to be spriritual. Tidak perlu mengganti tempat ibadah. Menjadi spiritual berarti  tidak menyakiti sekaligus banyak menyayangi.

Bila ini pedomannya, banyak sekali orang yang bisa menjadi spiritual. Dari pemimpin perusahaan, sampai dengan tukang sapu. Terutama karena dengan saling menyayangi manusia sedang saling berpelukan kemudian terbang bersama. Pria bakat alaminya maskulin, makanya tertarik dengan wanita feminim. Atasan pemarah merindukan sekretaris penyabar. Inilah tanda-tanda kesempurnaan. Ia bukan tersembunyi pada keserakahan akan hal positif, mencampakkan yang negatif.

Perhatikan atasan, jarang ada yang tidak pernah marah, terutama karena  kemarahan kerap membuat organisasi teratur. Disamping itu, seperempat gaji atasan sesungguhnya biaya marah-marah. Semacam ongkos ke dokter bila nanti stroke.

Kendati demikian, kemarahan bisa dikelola, terutama bila manusia menemukan kebahagiaan dalam tidak menyakiti sekaligus banyak menyayangi. Perhatikan argumen seorang sahabat:  when  anger  disappear  enemies  disappear.  Ketika kemarahan menghilang, musuh juga menghilang.

Ada yang mencoba menghilangkan kemarahan dengan menendangnya, namun di jalan ini kemarahan tidak ditendang. Sejujurnya kemarahan adalah suara dari dalam. Asal diawasi, ia juga membimbing.

Perhatikan orang atau situasi yang menimbulkan kemarahan. Kenali polanya, catat kecenderungannya. Setelah itu terkuak rahasianya, kemarahan sejenis energi. Serupa api asal digunakan di waktu, tempat dan tujuan yang tepat, ia membantu kita memasak.

Bawahan yang hormat, tetangga tidak sembarangan, anak-anak penurut, itulah sebagian hasil kemarahan yang terkelola. Ada mengerti kemarahan lebih dalam lagi. Seorang guru meditasi berpesan: The best spiritual friend is the one who attacks your hidden faults. Sahabat pertumbuhan yang sesungguhnya adalah mereka yang menyerang kekurangan-kekurangan kita.

Terutama karena mereka membuat kita sabar dan bijaksana. Demikian baiknya, bahkan ia rela masuk neraka. Bila begini memandangnya,  bisa dipahami bila ada guru yang menyarankan untuk mencintai orang yang menyakiti.

Perlu dipahami, orang menyakiti sesungguhnya sedang menderita. Memarahinya hanya akan memperpanjang penderitaannya. Bila judulnya adalah “orang menderita” bukan “orang jahat”, maka energi yang muncul bukannya marah melainkan kesediaan untuk menyayangi. Inilah yang dilakukan para bijaksana sehingga bisa senyum-senyum bahkan ketika disakiti.

Gede Prana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar