Selasa, 30 November 2010

Manusia-Samuel Mulia

Saya baru menyelesaikan raker tahunan di Kota Bandung. Selama tiga hari dua malam itu, saya nyaris menghabiskan waktu bersama sekitar 12 manusia yang sama di ruang yang sama, dari pukul sembilan pagi hingga pukul delapan malam.
Bisa dibayangkan 12 manusia dengan sifat yang berbeda, dengan cara berbicara yang berbeda. Dari yang sangat berapi-api, yang tenang, yang tenang kemudian berapi-api, yang sebentar-sebentar mengernyitkan dahi, sampai yang diam sepanjang hari-hari itu dan hanya berkicau ketika ada pertanyaan yang diajukan kepadanya.
Aneka rupa
Hari kedua, kami makan bersama di sebuah rumah makan setelah rapat nyaris 11 jam lamanya. Suasana santai membuat manusia-manusia itu lebih banyak mengobrol meski yang diam sejak di ruang rapat, yaa... tetapi diam di rumah makan. Sementara yang lain tertawa terbahak-bahak dengan banyolannya yang menyindir dan mengocok perut.
Kemudian saya menjadi teringat dengan beberapa kelompok pergaulan saya. Di BB, saya memiliki 12 grup pertemanan. Kalau saya memberitahukan jumlah 12 itu, teman-teman saya senantiasa berteriak, ” Gila yaa... apa enggak rusak tuh BB.” Ada yang bersuara, ”Emang aktif semuanya?”
Dari ke-12 grup itu, hanya satu yang tidak aktif meski tidak ditutup, anggotanya tinggal tiga orang. Waktu masih memiliki sekitar tujuh manusia di dalamnya pun, grup ini kebanyakan diam semua. Kalau dipancing dengan banyolan berantai yang saya terima dari teman-teman lainnya, reaksi para anggotanya sama sekali tidak ada. Sama seperti orang lumpuh. Kalaupun aktif itu hanya dari seseorang teman yang bekerja di sebuah mal, yang mengirimkan berita soal aktivitas malnya itu.
Kelompok-kelompok lainnya digrupkan sesuai dengan profesi atau yang memiliki perilaku atau kesenangan yang sama. Kelompok penata gaya. Mereka yang bekerja di majalah mode dan gaya hidup. Kelompok yang salah satunya paling aktif adalah kelompok profesional di dunia periklanan dan public relations, yang kerjanya hanya guyonan semata.
Kemudian ada kelompok manusia yang mendukung saya sejak puluhan tahun lalu, bekas anak buah yang sekarang lebih sukses daripada saya, termasuk seorang pria yang selalu berada di belakang saya ketika saya membutuhkannya. Pria dengan otak encernya, yang bisa makan malam dengan segala macam pejabat, dan mereka yang memiliki kedudukan tinggi di negeri ini, yang melahap segala macam buku seperti saya melahap semua makanan. Dia adalah kamus berjalan yang saya miliki.

Cocok, tidak cocok
Berikutnya adalah kelompok ibu-ibu rumah tangga, bekas teman-teman sejawat yang 20 lalu pernah bekerja di sebuah majalah wanita yang sama. Kami merupakan kelompok pendiri majalah itu. Namanya juga ibu-ibu, maka yang cukup sering dibicarakan adalah anak, suami, dan masalah rumah tangga.
Karena saya ini tak punya anak, saya selalu menyerah kalau sudah isi pembicaraannya seperti itu. Saya aktif kalau sudah mulai ada yang mengirimkan pesan mau kumpul-kumpul yang jarang bisa kami lakukan. Kalau sudah kumpul, makanan yang tersedia senantiasa tak pernah mengecewakan. Bagaimana tidak? Ibu-ibu yang terbiasa mengurusi isi perut para suami dan para anak-anak sudah bisa dibayangkan selalu memberi yang terbaik.
Dan, salah satu yang teraktif selain kelompok pekerja biro iklan tadi adalah mereka yang mendukung saya secara spiritual. Kelompok ini terdiri atas berbagai macam profesi dan kepribadian anggotanya yang superekstrem. Kami sering kali berjumpa, makan minum, liburan bersama, dan ke pesta bersama. Kelompok yang memiliki ”detak jantung” yang berdegup seperti baru selesai olahraga sekian jam tanpa henti, yang kepribadian anggotanya seperti ayunan, naik dan turun.
Nah, malam setelah selesai mengisi perut di rumah makan di Kota Bandung yang dingin karena seharian diguyur hujan, saya mulai mikir. Betapa luar biasanya kalau saya ini dianugerahi kesempatan memiliki perjalanan hidup yang dikelilingi oleh berbagai manusia dengan sejuta naik dan turunnya, sejuta manusia dengan keahliannya masing-masing. Saya menjadi berwarna karena mereka. Saya bisa menjadi manusia yang sempurna karena mereka.
Seyogianya saya tak bisa dengan mudah merasa tersinggung karena sifat dan isi pembicaraan yang keluar dari mulut mereka.
Saya kaya karena mereka. Bukan hanya sekadar mendapat peluang pekerjaan, melainkan juga kaya dalam jiwa. Dulu saya pernah berpikir untuk mengundurkan diri karena saya merasa tidak cocok. Tetapi, setelah saya pikir, apakah tidak cocok itu? Kalau saja saya mau berhenti sejenak dari hanya memikirkan diri sendiri, semuanya jadi cocok.
Hubungan antarmanusia itu bukan satu arah, tetapi dua arah. Menjadi berwarna dan kaya bersamaan, bukan untuk kesenangan sendiri saja. Hubungan antarmanusia itu tidak untuk mempertajam ego, tetapi itu justru untuk menumpulkan ego. Pertemanan itu bukan untuk membuat seseorang menyerah kalah, tetapi menang bersama. Bahkan, mungkin tak ada menang tak ada kalah.
Pertanyaannya kemudian, apakah mereka merasa menjadi berwarna dan kaya karena berteman dengan saya? Malam semakin larut di Bandung, dan mata saya sudah berat sekali rasanya. Saya memilih tidur karena pertanyaan itu bukan saya yang berhak menjawabnya.
Sumber : Kompas Cetak Minggu, 14 November 2010 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar