Selasa, 05 Oktober 2010

Saleh dan Malu -- Mohamad Sobary

Beruntung, saya pernah mengenal tiga orang saleh. Ketiganya tinggal di daerah yang berbeda, dan jenis kesalehan mereka pun berbeda.

Saleh pertama di Klender, orang Betawi campuran Arab. Ia saleh, semata karena namanya. Orang menyukainya karena ia aktif siskamling meskipun bukan pada malam-malam gilirannya.

Orang kedua, Haji Saleh Habib Farisi, orang Jawa. Agak aneh memang, Habib Farisi sebuah nama Jawa. Tapi ia saleh dalam arti sebenarnya. Minimal kata para anggota jamaah masjid kampung itu.

Jenggotnya panjang. Pici putihnya tidak pernah lepas. Begitu juga sarung plekat abu-abu itu. Tutur katanya lembut, seperti Mas Danarto. Ia cekatan membri senyum kepada oarang lain. Alasannya : "senyum itu sedekah".

Kepada anak kecil, ia sayang. Hobinya mengusap kepala anak bocah-bocah yang selalu berisik pada saat salat berjamaah berlangsung. Usapan itu dimaksudkan agar anak-anak tak lagi bikin gaduh. Tapi bocah tetap bocah. Biar seribu kali kepala diusap, ribut tetap jalan. Seolah mereka dilahirkan buat bikin ri but di masjid.

"Ramai itu baik saja," katanya sabar, (ketika orang-orang lain pada marah), "karena ramai tanda kehidupan," katanya lagi. "Lagi pula, kita harus bisa salat khusyuk dalam keramaian itu."

Mungkin ia benar. Buktinya ia betah berjam-jam zikir di masjid. Sering salatnya sambung-menyambung tanpa terputus kegiatan lain. Selesai magrib, ia tetap bezikir sambil kepalanya terangguk-angguk hingga isya tiba.

Jauh malam, ketika semua orang masih lelap dalam mimpi masing-masing, ia sudah mulai salat malam. Kemudian zikir panjang hingga subuh tiba.

Selesai subuh, ia zikir lagi, mengulang-ulang asmaul husna dan beberapa ayat pilihan sampai terbit matahari, ketika salat duha kemudian ia lakukan. Pendeknya, ia penghuni mesjid.

Tidurnya cuma sedikit. Sehabis isya, ia tidur sekitar dua jam. Kemudian, selesai salat duha, tidur lagi satu jam. Selebihnya zikir,zikir,zikir...Pas betul dengan nama-nama yang disandangnya. Dasar sudah saleh, plus Habib (nama sufi besar), ditambah Farisi (salah seorang sahabat Nabi).

Kalau kita sulit menemui pejabat karena banyak acara, kita sulit menemui orang Jawa ini karena ibadahnya di masjid begitu padat.

Para tetangga menaruh hormat padanya. banyak pula yang menjadikan semacam idola. Namun, ia pun punya kekurangan. Ada dua macam cacat utamanya. Pertama, kalau dalam salat berjamaah tak ditunjuk jadi imam, ia tersinggung. Kedua, kalau orang tak sering "sowan" ke rumahnya, ia tidak suka karena ia menganggap orang itu telah mengingkari eksistensinya sebagai orang yang ada di "depan".

"Apakah ia dengan demikian katif di masjid hanya karena ingin menjadi tokoh?" Hanya Tuhan dan ia yang tahu.

Pernah saya berdialog dengannya, setelah begitu gigih menanti zikirnya yang pajang itu selesai. Saya katakan bahwa kelak bila punya waktu banyak, saya ingin selalu bezikir di masjid seperti dia. Saya tahu, kalau sudah pensiun, saya akan punya waktu macam itu.

"Ya, kalau sempat pensiun," komentarnya.

"Maksud Pak Haji?"

"Memangnya kita tahu berapa panjang usiakita? Memangnya kita tahu kita bakal mencapai usia pensiun?"

"Ya, ya. Benar, Pak Haji," saya merasa terpojok.

"Untuk mendapatkan sedikit bagian dunia, kita rela menghabiskan selurh waktu kita. Mengapa kita keberatan menggunakan beberapa jam sehari buat kekal abadi di surga?"

"Benar, Pak Haji. Orag memang sibuk mengejar dunia."

"Itulah. Cari neraka saja mereka. Maka, tak bosan-bosan saya ulangi nasihat bahwa orang harus salt sebelum disalatkan."

Mungkin tidak ada yang salah dalam sikap Pak Haji Saleh. Tapi kalau saya takut, sebabnya kira-kira karena ia terlalu menggarisbawahi "ancaman".

Saya membandingkannya dengan orang saleh ketiga. Ia juga haji, pedagang kecil, petani kecil, dan imam di sebuah masjid kecil. Namanya bukan Saleh melainkan Sanip. Haji Sanip, orang Betawi asli.

Meskipun ibadahnya (di masjid) tak seperti Haji Saleh kita bisa merasakan kehangatan imannya. Waktu saya tanya, mengapa salatnya sebentar, dan doanya begitu pendek, cuma melulu istighfar (mohon ampun), ia bilang bahwa ia tak ingin minta aneh-aneh. Ia malu kepada Allah.

"Bukannya Allah sendiri menyuruh kita meminta dan bukannkah Ia berjanji akan mengabulkannya?"

"Itu betul. Tapi minta atau tidak, kondisi kita sudah dengan sendirinya memalukan. Kita ini cuma sekeing jiwa telanjang, dari hari ke hari nyadong berkah-Nya, tanpa pernah memberi. Allah memang mahapemberi, termasuk memberi kta rasa malu. Kalau rezeki-Nya kita makan, mengapa rasa malu-Nya tak kita gunakan?" katanya lagi.

Bergetar saya. Untuk pertama kalinya saya merasa malu hari itu. Seribu malaikat, nabi-nabi, para wali dan orang-orang suci--langsung dibawah komando Allah--seperti serentak mengamini ucapan orang Betawi ini.

"Perhatikan di masjid-masjid, jamaah yang minta kepada Allah kekayaan, tambahan rezeki, naik gaji, naik pangkat. Mereka pikir Allah itu kepala bagian kepegawaian di kantor kita. Allah kita puji-puji karena akan kita mintai sesuatu. itu bukan ibadah, tapi dagang. Mungkin bahkan pemerasan yang tak tahu malu. Allah kita sembah, lalu kita perah rezeki dan berkah-Nya, bukannya kita sembah karena kita memang harus menyembah, seperti tekad Al Adawiah itu," katanya lagi.

Napas saya sesak. Saya tatap wajah orang ini baik-baik. Selain keluhuran batin, di wajah yang mulai menampakkan tanda ketuaan itu terpancar ketulusan iman. Kepada saya, Kong Haji itu jadinya menyodorkan sebuah cermin. Tampak disana, wajah saya retak-retak. Saya malu melihat diri sendiri. Betapa banyak saya telah meminta selama ini, tapi betapa sedikit saya memberi. Mental korup dalam ibadah itu, ternyata, bagian hangat dari kehidupan pribadi saya juga.

  
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar