Senin, 11 Oktober 2010

Mas -- Joko Pinurbo



Kota telah memberikan segala yang saya minta,
tapi tak pernah mengembalikan sebagian hati saya
yang ia curi saat tubuh saya dimabuk kerja.
Saya perempuan cantik, cerdas, sukses dan kaya.
Semua sudah saya raih dan miliki kecuali diri saya sendiri.

Ah, akhir pekan yang membosankan. Ingin sekali
saya tinggalkan kota dan pergi menemuimu, mas.
Pergi ke pantai terpencil yang tak seorang pun bisa
Menjangkaunya selain kita berdua. Saya ingin mengajakmu
duduk-duduk di bangku yang menghadap kelaut.
Akan saya bacakan sajak-sajak seorang penyair
yang tanpa sengaja menyimpankan cintamu kepada saya.

Wah, mas sudah lebih dulu tiba. Ia tampak gelisah
dan mondar-mandir saja di pantai. Saya segera memanggilnya:
“Kesinilah, mas, jangan mondar-,mandir melulu.”

Mas mendekat kearah saya dan saya menyambutnya:
“Mas boleh pilih, mau duduk di sebelah kiri atau di sebelah
kanan saya.” Ia sedikit terperangah: “Apa bedanya?”
“Kiri: Bagian diri saya yang dingin dan suram.
“Kanan: belahan jiwa saya yang panas dan berbahaya.”

Diam-diam mas memeluknya dari belakang dan berbisik
di telinganya: “Kalau begitu, aku duduk di pangkuanmu saja.
Aku ingin lelap sekejab sebelum lenyap ke balik matamu
Yang hangat dan sunyi. Sebelum aku tinggal ilusi.”
Perempuan itu merinding dan menjerit: “Maaasss…”

Pantai dan bangku mulai hampa. Senja yang ia panggil mas
Lambat-laun sirna. Ah, begitu cepat ia rindukan lagi kota.

(2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar