Senja warna kencana ketika putri jelita itu tiba di pesanggrahan hamba.
Tiga angsa seputih bunga kamboja mengiringinya.
Harum cempaka merekah dari langsat kulitnya. Bibir tipisnya mirah delima. Angin cemburu tak mampu mengurai hitam rambutnya. Hamba terpana pesona dihadapan hamba. Gerimis merah muda mengurai cuaca di kesunyian pesanggrahan.
Hamba tuntun sang putri masuk gubuk. Langkahnya pasti menjejak lantai tanah. Mulus betisnya memancarkan cahaya surgawi. Hamba menentamkan riak-riak gelombang dihati.
Sang putri duduk anggun di balai-balai bambu. Dia mengulum senyum. Seakan hendak menerka rahasia dari lontar-lontar kusam masa silam, di peti tua berukir bunga padma.
"Lautan dan topan sejatinya sepasang kekasih yang ingin menembangkan kidung-kidung dewa di cangkang-cangkang kerang," lirihnya.
Hamba merasa malu pada hati hamba, yang tiba-tiba mekar di jelita matanya. Buru-buru hamba nyalakan pelita minyak kelapa. Malam telah membutakan jarak di pesanggrahan.
Remang cahaya pelita mengurat dua bayang di dinding kayu. Bayang yang saling termangu merunut silsilah dan sejarah, yang mengasingkan kami sejauh tahun-tahun kepedihan, sepanjang jarak dua belahan bumi.
"Angin apa kiranya yang membawamu kesini, Putri? Hamba telah asingkan diri dari segala kenangan meski parasmu masih membekas di hati. Cahaya apa menuntun langkahmu, menyusuri jejak sunyi tak berperi, hingga tiba di gubuk hamba?"
Mata sekilau purnama menatap hamba tajam. Menembus remang-remang jiwa. Bibir seindah mirah membukla sabda : "masih ingatkah kau pada sebilah daun lontar di mana tertatah syair, yang kau gurat dari lubuk jiwamu?"
Hamba merasa darah hangat dari jantung yang berdegup malu, mengalir perlahan memenuhi wajah hamba. Sudah lama sekali, belasan tahun lalu. Ketika usia kami masih ranum, begitu hijau. Agaknya waktu telah membekukan syair itu di sebuah gua rahasia di hatinya.
"Meski bilah lontar itu masih kusam, tinta hitam dari kemiri dan jelaga hampir luntur, namun syair itu tak henti menitiskan rindu dan mengalir hangat di nadiku. Kini tiba saat bagiku melunasi karma," ucap Sang Putri.
Hamba terpana, menerka-nerka arah kerumunan kata yang berhamburan bagai kunang-kunang dari bibir rekah yang dulu hamba rindui. Di luar gubuk, angsa-angsa bercengkrama dengan malam, dengan halimun. Lengking suaranya melengkapi hening.
"Jangan ragu. Aku tiba di sini untukmu. Aku akan berkisah. Dan hanya kau yang kupercayai menggurat kisah-kisahku ini di bilah-bilah lontarmu. Karena kau pujangga istana di mana dulu hatiku pernah bahagia..."
Hamba terkesiap. Jiwa hamba berdesir, serupa angin subuh mengelus lembut kulit ari. Sudah lama sekali hamba tak mampu menggurat syair. iba-tiba hamba terkenang, saat hamba tinggalkan istana, diam-diam di tengah sunyi malam. Demi janji hamba pada keheningan dan pengembaraan.
Pantai demi pantai hamba susuri. Gunung demi gunung menjulang hamba daki. Rimba demi rimba rahasia hamba jelajahi. Lembah demi lembah misteri hamba hayati. Hingga tiba hamba di pesisir timur ini.
Tak ada yang mengenali hamba. Kecuali sunyi, kawan sejati seperjalanan. Bukankah manusia dilahirkan demi merayakan kesunyian? Dan ketika tiba saat kembali, jiwa menyusuri jalan sunyi yang itu-itu juga....
Suatu waktu angin pegunungan mengabarkan warta. Putri jelita sangat bersedih hati tak menemukan hamba di istana. Dia pun pergi membawa duka lara menyeberangi lautan seorang diri, menetap di negeri asing, demi menemukan kesejatian.
Hamba memahami kesedihannya. Hamba terlanjur tergoda kesunyian. Lebih memilih mengasingkan diri, ketimbang mendampingi sang putri melewati hari-harinya di puri. Hamba merasa tak leluasa berada di istana, mengabdi pada raja.
Hamba hanya ingin kembali pada alam dan kaum jelata. Belajar bertani, memahami nyanyian jengkrik dan kodok hijau. Berbaur dengan kuli, petani ladang garam dan nelayan. Mendengar siul angin di pucuk-pucuk bambu. Belajar mengurai makna sabda cecak di dinding kayu.
"Tak perlu disesali. Waktu begitu jauh berpacu. Namun wajah dan hatimu masi seperti dulu. Hanya beberapa helai uban tumbuh di sela-sela hitam rambutmu. Ketahuilah, kau masih selalu pujanggaku."
Hamba tak pernah tahu, apa wajah dan hati bisa tidak berubah. Hanya waktu yang abadi, dan sekelumit rasa yang berupaya kekal dalam fana.
Remang jadi makin nyalang. Cahaya pelita bergoyang. Mengaburkan bayang-bayang. Angsa-angsa sesekali melengking. Halimun melingkupi pesanggrahan. Dua ekor cicak di dinding kayu sedari tadi menerka-nerka arah jiwa kami. Menerawang sesuatu yang makin sawang.
"Ketahuilah pujanggaku. Aku bukan sejatinya putri istana. Aku hanya anak jadah. Meski ayahku keturunan raja, yang sungguh kasip kuketahui. Namun tak pernah kutahu rupa ibuku. Sedari janin aku telah mencecap getir. Tangis pertamaku menyanyat rahim ibu. Hatinya memang telah lama luka. Tak diakui, malu dengan aib sendiri. Aku dibuangnya begitu saja, seperti membilas daki di kelamin...," keluh Sang Putri.
Hamba tercekat, sungguh terperanjat. Kata-kata berasa duri menyumbat kerongkongan. Nyeri seperti mengalir di sumsum nadi. Hamba hanya mampu terdiam. Sang Putri tak hentri berkeluh kesah.
Kisah miris ini makin meyakinkan hamba, betapa manusia sejatinya ditakdirkan mengalami kesunyian dan kesepian. Hamba merasa sepasang cicak di dinding sedari tadi tertawa. Dan, lengking angsa menggenapi sunyi kami.
Letih dengan jiwa sendiri, sang putri terlelap di bale-bale bambu, tanpa kelambu. Dibilah-bilah daun lontar hamba mulai menggurat syair. Diremang cahaya pelita, terbayang wajah sang putri, sedang mengutuki dirinya...
Karangasem, Bali, Januari 2010
Sumber : Koran Kompas Minggu, 21 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar