Jumat, 01 Januari 2010

Serba Bersahaja


Minggu, 13 Desember 2009 | 02:56 WIB

Entah berapa lama lagi Prof Sutandyo akan bertahan di rumah dinas yang sudah dia huni sejak tahun 1958. Pihak Universitas Airlangga, kata Sutandyo, mengeluarkan surat edaran, meminta para dosen pensiunan segera meninggalkan rumahnya..
”Sebenarnya penghuni berhak membeli rumah itu setelah 20 tahun menempati, tetapi waktu itu rektor meminta supaya jangan dibeli karena ada di kompleks kampus. Kalau dibeli, tanah kampus terpotong,” ujarnya.

Kemudian dibuat perjanjian. Rumah boleh dihuni istri sampai 1.000 hari setelah meninggalnya suami. ”Tampaknya perjanjian itu telah dilupakan,” ujarnya.
Meski tak punya rumah pribadi, sebenarnya ia tidak keberatan meninggalkan rumah dinas itu. ”Saya bisa tinggal di paviliun rumah anak saya,” katanya, ringan. Namun, para penghuni yang lain meminta dia tinggal agar kekuatan perlawanan menolak surat edaran tidak berkurang.
Jalan berbelok

Rumah itu meninggalkan kenangan yang nyaris sempurna; kehidupan berkeluarga yang penuh, sampai sang istri, Asminingsih, yang hidup bersamanya sejak tahun 1965, berpulang pada 8 Juni 2005.
Menurut banyak sumber, Pak Tandyo merawat dan mendampingi sang istri sepanjang perjuangannya melawan kanker. Rasa kehilangan itu masih tersirat cukup pekat sampai kini.

”Hidup kami sederhana,” ungkap anak kedua dari 11 bersaudara pasangan Soekandar, pensiunan Perusahaan Jasa Kereta Api, dan Rr Siti Nardiah.
”Saya sekolah dengan beasiswa. Waktu anak kedua lahir, sempat jual kulkas Sekarang keadaan ekonomi sudah jauh lebih longgar, mestinya saya berbagi dengan istri. Dulu kami selalu pergi berdua,” kenangnya.
Ia merasa menjadi guru adalah takdirnya setelah ayahnya mendorong dia berangkat ke Michigan, Amerika Serikat. Saat itu studinya di Fakultas Hukum Universitas Airlangga tinggal skripsi. Ternyata itulah jalan untuk belok. Dia tidak menjadi hakim, tetapi guru.

”Saya baru tahu setelah pengukuhan guru besar tahun 1987. Saya sowan ayah saya yang sedang sakit. Saat itu ayah memeluk saya dan menangis tersedu-sedu. Ia mengatakan, ’Aku dulu disuruh eyangmu jadi guru, tetapi tidak mau. Sekarang anak-anakku semua jadi guru’.”
Bersahaja

Pak Tandyo dikenang banyak orang karena kebersahajaannya. Ketika menjadi anggota Komnas HAM, gajinya sejak tahun 1993 sampai 2002 adalah Rp 800.000 ditambah uang transpor Rp 1 juta sebulan. Untuk mengirit uang transpor antarkota, dari bandara dia baik bus, disambung jalan kaki ke kantor Komnas HAM.

Ia naik sepeda kalau mengajar. Suatu hari Sabtu, ia berangkat ke kampus untuk menguji. Ketika selesai, sepedanya tak ada di tempat. Karena dicari tak ketemu, ia pulang. ”Saya pikir, kalau sudah hilang, ya sudahlah.”

Saat tidur siang, ia dibangunkan karena ada laki-laki muda mengantarkan sepedanya. ”Ia pikir sepeda itu milik cleaning service. Katanya, ia cuma pinjam sebentar.”
Menjelang magrib, ia kembali dikejutkan oleh antaran sepeda baru yang dibeli para mahasiswa atas usul sosiolog Dr Daniel Sparringa setelah mendengar kabar sepeda Pak Tandyo hilang. ”Sekarang saya punya dua sepeda he-he-he....” (MH/NMP)

( sumber dari koran kompas )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar